Pertengahan September lalu, sejumlah tokoh nasional melapor ke
dewan pers terkait dimuatnya iklan UU Migas kompas edisi 9 dan 27 Agustus 2012.
Iklan ini dinilai sejumlah pihak menyesatkan opini publik. Ini terkait dengan
sidang UU migas yang kini banyak digugat ke MK. Iklan seluas setengah halaman
koran tersebut tak mencantumkan penulis/ lembaga . Namun, siapa pun yang
memasang iklan tersebut, ia pasti memiliki modal yang besar. Muncul dugaan kuat
bahwa pemasang iklan adalah pemerintah atau BP migas. Setelah membaca berita
terkait pengaduan tokoh-tokoh nasional tersebut, saya mencari-cari koran kompas
edisi 9 dan 27 Agustus. Alhamdulillah, akhirnya saya temukan
juga kedua iklan tersebut. Berkut ini hasil poin-poin penting berikut tanggapan
atas isinya, mudah-mudahan tidak terlalu terlambat.
Iklan UU migas tanggal 27 Agustus 2012 disebutkan bahwa: Undang-undang
no. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu buah hasil
perjuangan refomasi tahun 1998 untuk mendorong akuntabilitas , tata kelola
industri, dan manajemen pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik serta
mendukung anti korupsi.
Telah dipaparkan dalam Opini Energi V
bahwa UU Migas, alih-alih merupakan hasil perjuangan reformasi untuk industri
hulu migas yang lebih baik, lebih mencerminkan hasil tekanan IMF dan USAID
sebagai syarat pinjaman pemerintah RI pasca krisis moneter 1998. Pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam UU Migas adalah : mencabut kuasa pertambangan
dari Pertamina, menyamakan status Pertamina dengan Perusahaan minyak asing,
memecah Pertamina atas usaha hulu dan hilir (unbundling) agar sektor
migas lebih mudah di privatisasi, menerapkan harga pasar untuk BBM,
menghilangkan subsidi BBM, membuka sektor hilir bagi perusahaan asing,
membentuk lembaga baru BP Migas dan BPH Migas. Dokumen lengkap persyaratan yang
diajukan IMF dapat dilihat langsung di :
http://ww.imf.org/external/np/loi/2000/id/01/index.htm
Dalam dokumen resmi USAID pun, mereka mengakui bahwa mereka turut
merumuskan UU ini : “ USAID helped draft new oil and gas policy
legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will
increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil
company in exploration and production. A more efficient oil and gas
sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase
government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on
developing implementing regulations for the oil and gas legislation.”
UU migas memecah industri migas ke dalam usaha hulu dan hilir, ini
berbeda dengan UU sebelumnya yang mengintegrasikan secara vertikal aspek hulu
dan hilir ( vertically integrated). Padahal denganvertically
integrated, sebuah perusahaan akan lebih efisien. Logikanya sederhananya
begini, jika kita memiliki perusahaan yang terintegrasi dari hulu ke hilir,
dari penyediaan bahan baku hingga penjualan, rantai supply bisa terjaga dan
biaya pihak ketiga bisa ditekan. Hal demikian pula berlaku pada sektor migas.
Biaya yang ditanggung konsumen akan lebih rendah jika vertically
integrated. Selain itu, jika dilakukan unbundling, hal
yang dapat terjadi adalah sebagai berikut : Jika harga minyak mentah dunia
naik, maka perusahaan yang ada di sektor hulu akan mendapat keuntungan
besar.Akan tetapi, bagaimana di sektor hilir seperti di unit pengilangan
misalnya? Jelas keuntungan mereka akan berkurang karena mereka harus mendapatkan
bahan baku dengan harga mahal, tetapi harga barang harus sampai di tangan
konsumen dengan harga tetap. Dapat terjadi pula sebalikanya jika harga minyak
dunia turun, sektor hulu menikmati keuntungan sedikit, tetapi sektor hilir
mendapat keuntungan yang melimpah. Ini semua dapat terjadi jika dilakukan unbundling,
pemisahan usaha di hulu dengan di hilir. Agar terjadi keseimbangan, maka
sebaikanya hulu dan hilir terintegrasi.
Liberalisasi di sektor hilir pun memberikan angin segar bagi
perusahaan-perusahaan asing. Tentu saja karena kesempatan untuk merambah ke
sektor yang resikonya relatif lebih rendah daripada sektor hulu itu pun terbuka
lebar. Ini dikuatkan dengan rencana untuk menyerahkan harga BBM ke pasar. SPBU
asinglah pihak pertama yang akan bersorak-sorai jika hal ini terjadi.
Jelas sekali bahwa ketimbang merupakan representasi dari semangat
reformasi, UU migas lebih terlihat sebagai hasil dikte kekuatan asing atas
perekonomian Indonesia.
***
Dalam iklan 9 Agustus, dikutip kata-kata Bung Hatta:
” Untuk membangun negara kita, kita tidak mempunyai kapital karena
itu kita pakai kapital asing untuk kepentingan kita. Kita anti kapitalisme
tetapi tidak antikapital. Kita juga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa
asing karena memang kekurangan tenaga ahli. Mereka itu kita bayar menurut
ukuran pembayaran internasional yang memang tinggi jika dibandingkan dengan
pembayaran kepada tenaga –tenaga ahli kita. Hal itu jangan diirikan karena
mereka itu tidak mempunyai kewajiban terhadap negara kita, sedang kita
mempunyai kewajiban terhadap negara dan bangsa.”
Seperti kita ketahui sekitar 74% migas di Bumi Indonesia dikelola
oleh perusahaan asing. Pernyataan tersebut dijadikan pembenaran oleh pembuat
iklan kaleng untuk permisif terhadap kuasai perusahaan asing di sektor-sektor
strategis seperti migas. Jika baca pemikiran-pemikiran ekonomi Hatta, terutama
esai-esainya di harian Daulat Rakjat, tampak jelas bahwa beliau
begitu membenci kapitalisme dan dominasi modal swasta yang pada akhirnya
melahirkan imperialisme. Hatta memang tak anti terhadap modal asing, tetapi
pada iklan kaleng tersebut, nyata-nyata pendapat Hatta dipelintir sebagai
legitimasi kuasa asing di sektor migas. Menurut Hatta, modal atau bantuan dari
luar negeri kepada negara berkembang harus mendorong timbulnya aktivitas
ekonomi sendiri. Perekonomian harus dijalankan dengan cita-cita self-help dan self-reliance.
Modal atau bantuan tersebut harus melancarkan ekonomi negara berkembang sampai
pada suatu tingkat di mana ia seterusnya dapat bergerak sendiri atas kekuatan
sendiri (Swasono, 1992). Production Sharing Contract (PSC)
yang melibatkan kontraktor asing pun dulu digagas Soekarno agar terjadi
penumpukan kapital dan penguasaan teknologi sehingga suatu saat pengelolaan
sepenuhnya dapat dilakukan oleh perusahaan negara.
Terkadang ada juga sekelompok orang yang bertanya mengapa perlu
mandiri? Bukankah tidak masalah diserahkan ke asing jika itu lebih efisien,
asalkan mampu menyejahterakan rakyat? Pada zaman dahulu para pejuang negeri ini
berjuang untuk mencapai kemerdekaan, padahal mungkin mereka tahu bahwa
perekonomian awal kemerdekaan belum tentu akan lebih baik daripada zaman
penjajahan. Padahal di zaman dulu, pemerintahan kolonial banyak membangun
infrastruktur, kebun, ataupun industri yang menyerap tenaga kerja. Namun, kaum
intelektual pribumi yang sebetulnya memiliki kesempatan emas berkarir di kantor
pemerintah maupun di industri, memilih meninggalkan zona nyamannya untuk
berjuang mencapai kemerdekaan. Secara naluriah manusia selain menginginkan
kesejahteraan juga menginginkan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, ia
tak suka dikekang. Dominasi asing akan menimbulkan ketergantungan masyarakat
kepada pihak lain yang menyebabkan masyarakat tersebut kesulitan menentukan
masa depannya. Bayangkan, bagaimana mungkin cita-cita nasional untuk
menjaga keamanan dan ketertiban dunia bisa dijalankan jika dalam hal ekonomi
Indonesia masih sangat bergantung pada para kapitalis asing.
Bayangkan betapa sedihnya founding fathers jika
mereka melihat hingga kini masih begitu bergantungnya kita pada kuasa modal
asing. Pada akhir dekade 1970-an pun Bung Hatta sudah mengungkapkan
keprihatinannya pada Mochtar Lubis, “…betapa lemahnya kita sekarang
melindungi perdagangan dalam negeri kita yang seharusnya berada dalam tangan
Indonesia sendiri.” Andaikata masih hidup, Bung Hatta pasti makin sedih dan
prihatin karena kata-katanya dijadikan pembenaran dominasi asing oleh
pemerintah bermental inlander.
( Kata-kata Bung Hatta dalam iklan juga dikutip oleh saksi ahli
pemerintah saat sidang JR 1 Agustus lalu, kebetulan saat itu saya hadir di MK.
Ini menguatkan dugaan bahwa yang memasang iklan tersebut adalah pemerintah/BP
Migas)
***
Iklan kompas 27 Agustus berjudul : NEGARA BERDAULAT PENUH ATAS
SUMBER DAYA MIGAS. Pada iklan tersebut, disebutkan pasal 4 ayat 1, 2, dan
3 jadi dasarnya bahwa kedaulatan masih di tangan negara.
Selain itu, iklan tersebut menyebutkan bahwa kekayaan alam migas Indonesia
tetap terjamin milik Pemerintah meskipun keberadaan fisiknya bisa tidak
di wilayah hukum Indonesia. Iklan tersebut memberikan contoh bahwa jika LNG
Indonesia dikirimkan kepada pembeli di luar negeri, saat sewaktu-waktu
dibutuhkan untuk pasokan domestik, selama belum sampai titik penyerahan, dapat
diminta kembali oleh Indonesia.
Makna penguasaan oleh negara dalam pasal 4 ayat 1 dan Kuasa
Pertambangan pada ayat 2 sebenarnya menjadi rancu ketika pemerintah menyerahkan
Kuasa Pertambangannya itu kepada Badan Pelaksana (BP Migas). BP migas mewakili
pemerintah untuk berkontrak dengan perusahaan. Jadi pola perjanjian yang
terjadi adalah B to G, bukan B to B. Pemerintah dalam hal ini merendahkan
kedudukannya menjadi setara dengan perusahaan asing. Apa dampaknya? Dampaknya
jika suatu saat terjadi perselisihan dalam kerjasama, negara dapat diseret ke
arbitrase internasional. Hal ini juga memungkinkan disitanya aset negara yang
ada di luar negeri misalnya pesawat, kantor kedutaan,dll.
Ada pula yang menganggap bahwa kontrak yang terjadi berpola BP
migas to B. Artinya, BP migas tak bisa disamakan dengan pemerintah atau negara.
Pertanyaannya lalu BP migas apa? Apakah mungkin perusahaan asing internasional
mau berkontrak dengan BP migas sebagai badan hukum dan tak ada jaminan?
Tentu tak akan mau. Kita tahu bahwa BP migas tak memiliki aset sebagaimana
perusahaan migas. Kantor mereka saja kini masih menyewa di Gedung Wisma Mulia.
Perusahaan asing mau berkontrak dengan BP migas karena dibelakang BP Migas ada
pemerintah sehingga ada jaminan aset-aset, termasuk economics
right migas.
Dalam mekanisme B to G, sewaktu-waktu pemerintah merasa dirugikan
dan hendak mengubah perkanjian, perlu mendapat persetujuan pihak kontraktor.
Itu disebabkan keduduka bahwa pemerintah yang sejajar dengan kontraktor. Contoh
pola serupa adalah tambang freeport. Pemerintah begitu sulitnya melakukan
renegosiasi untuk menaikan royalti dari 1% menjadi 3,75%.
Di sektor migas, jelas sekali kontrak LNG (Liquified Natural
Gas) Tangguh antara pemerintah dan BP (British Petroleum) , yang
berarti berpola B to G, begitu merugikan negara. Blok Tangguh yang dikelola BP
menjual gas hanya dengan harga US$3,35 per mmbtu (million british thermal
unit) ke Fujian Cina , sementara di saat yang sama harga jual gas ke dalam
negeri US$7 per mmbtu. Penjualan LNG Tangguh ini juga jauh di bwah harga LNG
Badak di Kaltim yang di ekspor ke seharga US$ 20 per mmbtu ( Lapangan ini
dikembangkan dengan UU Pertamina). Negara dirugikan puluhan trilyun per tahun
dengan penjualan murah LNG Tangguh ke Cina. Di saat yang sama banyak industri
dalam negeri yang membutuhkan gas seperti industri pupuk, semen, dan kertas.
Jelas statement iklan yang menyatakan bahwa
pengapalan LNG dapat dibatalkan dan disuruk balik ke RI jika perlu pasokan
domestik terbantahkan.
Posisi BP migas sebagai badan hukum pun tidak memungkinkan BP
migas menjual langsung bagian gas milik negara. Dalam hal ini, BP migas harus
menunjuk pihak ketiga, dan sayangnya pihak ketiga yang ditunjuk tak selalu
Pertamina. Untuk kasus LNG Tangguh ini, BP Migas justru menunjuk BP (British
Petroleum) untuk menjual gas bagian negara.
Pola B to G yang dijalankan sekarang dengan UU migas menyulitkan
renegosiasi pemerintah dengan perusahaan asing. Posisi yang setara menyebabkan
perubahan kerjasama perlu mendapat persetujuan dari pihak asing. Ini tak akan
terjadi jika pola yang dipakai adalah B to B, seperti yang ada pada UU
Pertamina. Pola B to B menjadikan pemerintah berada di atas kontrak sehingga
jika terjadi perubahan tak perlu mendapat persetujuan dari pihak asing. Sebagai
contoh, dahulu di tahun 60an hingga 1970an awal, kontrak bagi hasil
pembagiannya 60% negara dan 40% kontraktor. Saat itu harga minyak dunia sekitar
US$ 2 per barrel. Namun, seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia, kontrak
ini dirasa tidak cukup adil. Pemerintah akhirnya mengubah pembagiannya menjadi
85% negara dan 15% kontraktor tanpa perlu menunggu persetujuan kontraktor. Ini
bisa, karena pola yang digunakan adalah B to B.
***
Terkait cost recovery, dalam Iklan 9 Agustus tertulis: “
Sesungguhnya cost recovery tidak memiliki hubungan linear dengan produksi
apalagi lifting. Perlu diingat sebagian besar lapangan-lapangan minyak di
Indonesia adalah lapangan tua dengan produksi yang menurun di satu sisi, dan
naiknya kebutuhan akan biaya di sisi lain…”
Cost recovery merupakan
pengembalian biaya pengadaan migas ( termasuk biaya eksplorasi, pengadaan alat,
eksploitasi, dan biaya operasi) oleh negara kepada kontraktor karena
telah menghasilkan migas secara komersial. Cost recovery dibayarkan
dalam bentuk migas seharga uang yang dibayarkan. Yang sering disoroti adalah
peningkatan cost recovery dari tahun ke tahun, sementara lifting minyak justru
turun dari tahun ke tahun. Bahkan lifting minyak selalu di bawah target.
Sumber : DESDM
Alasan kenapa cost recovery selalu naik ditengah lifting migas
yang turun telah dipaparkan dalam iklan kaleng 9 Agustus. Selain itu, menurut
pemerintah kenaikan cost recovery dapat dianggap wajar karena harga minyak
naik,produksi gas naik, serta adanya biaya treatment khusus untuk ladang minyak
tua untuk menggenjot produksi migas ( Enhanced Oil Recovery/EOR).
Namun, kecurigaan berbagai pihak bahwa terjadi penyelewengan dana
cost recovery di tubuh BP Migas bukan tanpa alasan. Kendati, kontraktor asing
mengajukan Plan of Development, Work Program and Budget, Authority for
Expenditure ( rencana pengembangan, pengeluaran,dan otoritas
pembelanjaan), itu semua dilakukan di bawah BP Migas. Sedangkan BP migas itu
badan hukum yang tidak mempunyai MWA ataupun komisaris sehingga mekanisme
kontrolnya lemah. Ini memperikan peluang dilakukannya markup. Belakangan
justru BP migas mengusulkan agar CSR ( Corporate Social Responsibility)
dimasukkan ke dalam komponen cost recovery !
Selain itu, isu-isu penyelewengan kekayaan negara di aspek hulu
pun tak kunjung reda meski UU Pertamina telah diganti oleh UU Migas. Padahal,
yang sering dijadikan alasan untuk mencabut UU Pertamina adalah masalah
korupsi, akuntabilitas, dan transparansi. Tahun 2011 misalnya, KPK menemukan
aset negara di sektor migas senilai Rp 225 trilyun tidak jelas pengelolaannya.
Tahun 2007, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP) menemukanindikasi
penyimpangan cost recovery sebesar Rp18trilyun.Tahun 2012 pun, anggota BPK
menyatakan bahwa ada dugaan kerugian penerimaan negara di sektor migas sekitar
US$ 1,7 milliar. Terakhir, berdasarkan temuan FITRA, ada dugaan korupsi senilai
Rp76 miiliar terkait pnyewaan gedung kantor BP migas. Kebiasaan pejabat-pejabat
BP migas untuk melakukan rapat di hotel mewah pun menjadi sorotan banyak pihak.
Semangat perjuangan reformasi justru dipertanyakan dengan
berlakunya UU Migas dan adanya BP Migas. Adanya lembaga ini justru memperumit
birokrasi, apalagi karyawan BP Migas yang jumlahnya mencapai 740 orang dan
terus akan bertambah.
” Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya
untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama
Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik,
kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politiek, tapi soal bagaimana
menjadiken manusia yang di dalamnya hidup terhormat dan terjamin
kesejahteraannya”
Ir. Soekarno
Referensi :
·
Harian Kompas 9
Agustus 2012, 27 Agustus 2012, dan 20 September 2012
·
Partowidagdo, Widjajono.
2009 . Migas dan Energi di Indonesia :
Permasalahan dan Analisis Kebijakan. Jakarta : Pertamina
·
Data ESDM 2011
·
Swasono, Sri-Edi,dkk.
1992. Mohammad Hatta ,Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi bagi
Indonesia. Jakarta : UI Press
Fajar Cipta Yudha Perkasa
Kementerian Kebijakan Nasional KM ITB 2012/2013
Lingkar Studi Indonesia
Perkasa