Friday, September 28, 2012

Dimana Ketahanan Energi Nasional


” Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang”
 Ir. Soekarno


Beberapa  organisasi masyarakat kini tengah mengajukan judicial review UU Migas. Undang-undang ini dinilai banyak pihak tidak sejalan dengan amanah konstitusi dan merugikan Indonesia. Gugatan masyarakat kini semakin kuat menjelang habisnya kontrak puluhan blok migas yang kini dikuasai oleh perusahaan multinasional. Hingga tahun 2021 mendatang terdapat sekitar 29 blok  migas asing yang habis masa kontraknya. Beberapa di antaranya yaitu Siak (kini dikelola Chevron, habis 2013), Mahakam (Total, 2017), South Sumatra, SES (CNOOC,2018),South Natuna Sea B (Conoco-Phillips, 2018), East Kalimantan (Chevron, 2017), Sanga-sanga (Virginia, 2018), Lho Sukon B (Exxon, 2017), Corridor, Bertak, dan Bijak Ripah (Conoco-Phillips, 2016), Onshore Salawati Basin (PetroChina,2016), dan Arun B (Exxon, 2017).

Di mana sebenarnya letak kekeliruan UU migas ? Pada opini energi sebelumnya, telah penulis paparkan aspek historis yang melatarbelakangi lahirnya UU Migas. Dalam tulisan ini penulis akan mengemukakan keganjilan yang terdapat dalam UU migas dari aspek keberpihakan pada negara dan aspek tata lembaga.

Aspek keberpihakan kepada negara

UU Migas tak memberikan kepastian bahwa pihak nasional diprioritaskan untuk penguasaan dan pengelolaan wilayah migas. Setelah UU ini berlaku, Pertamina yang dalam hal ini perusahaan negara (National Oil Company, disingkat NOC) kedudukannya setara dengan perusahaan-perusahaan migas lain. NOC kemudian hanya berperan sebagai peserta tender bersama perusahaan migas lain, sedangkan negara yang diwakili BP Migas hanya berperan sebagai regulator, atau lebih sederhananya, sebagai juri yang netral. Hak monopoli Pertamina (sebagaimana ada saat UU Pertamina berlaku) sebagai NOC dicabut.

Di satu sisi Pertamina berkembang karena bersaing dengan banyak kontraktor, di sisi lain Pertamina harus bersaing dengan perusahaan –perusahaan minyak dengan kelas yang lebih tinggi. Ini logika sistem ekonomi kapitalis-liberal yang seakan adil memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta. Setiap peserta dikondisikan untuk bersaing sehingga pada akhirnya pihak yang paling berkualitas dan paling efisien lah yang keluar sebagai pemenang. Padahal kenyataannya, setiap peserta berangkat dari titik yang berbeda. Bagai mengadukan petinju kelas bulu dengan petinju kelas berat, tentu hampir bisa dipastikan petinju kelas beratlah yang keluar sebagai pemenang. Persaingan dalam dunia migas yang melibatkan berbagai perusahaan dari berbagai level tentu hanya akan menghasilkan monopoli atau oligopoli baru, dimana satu atau beberapa perusahaan migas dengan kapital terbesar dan sudah mapan terlebih dahulu lah yang akan menguasai pasar. Justru seharusnya pemerintah membenahi dan memberdayakan Pertamina hingga cukup setara dengan perusahaan-perusahaan asing sebelum memasuki area pasar bebas.

Tidak ada yang salah dengan monopoli negara dibidang migas . Kita dapat melihat Petronas yang dahulu banyak belajar dari Pertamina pada tahun 1970an. Namun, kini Petronas telah jauh melesat mendahului Pertamina. Dalam Petroleum Intelligence View 2009 tercatat Petronas berada di peringkat 9, sedangkan Pertamina berada di peringkat 30. Padahal pada awal tahun 1970an Petronas mengadaptasi langsung UU no.8 Tahun 1971 ( UU Pertamina) sebagai regulasi pengelolaan migas dan diberi nama Petroleum Development Act 1975 (PAD 1975). Sampai sekarang Petronas masih menggunakan payung hukum yang sama. Sebagaimana UU Pertamina, PAD 1975 memberikan kuasa penuh terhadap sumber daya migas negara. Di sektor hulu, semua investasi asing langsung di bawah pengawasan Pertamina. Petronas pun, sebagai Integrated State Oil Company,diberi wewenang untuk menjadi pemain sekaligus regulator dalam industri migas Malaysia. Petronas langsung di bawah Perdana Menteri Malaysia, sehingga ia dapat berekspansi bisnis secara leluasa. Dengan menggunakan PAD 1975, yang merupakan adaptasi dari UU Pertamina, Petronas mampu menjadi perusahaan minyak kelas dunia. Ini menunjukan bahwa tak selamanya monopoli perusahaan negara atas sektor migas bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Konstitusi kita pun menegaskan bahwa minyak sebagai barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.

Aspek Tata Lembaga

Dengan adanya UU Migas, Pertamina yang di UU sebelumnya diberi kuasa sebagai regulator sekaligus pemain kini hanya bertindak sebagai pemain. Sebagai regulator, dibentuklah BP ( Badan Pelaksana) Migas yang berstatus Badan Hukum Milik Negara. Yang paling banyak dipertanyakan adalah keberadaan BP migas yang justru membuat industri  migas tidak efisien. Terdapat beberapa keganjilan sebagai implikasi dari tata lembaga dalam UU migas ini.

Pertama, negara telah menurunkan kedaulatannya dengan menyejajarkan diri dengan kontraktor asing. UU Migas mengubah skema bisnis migas dari yang semula Business  to Business ( Perusahaan negara dengan Kontraktor) menjadi Goverment to Business ( Pemerintah yang diwakili BP Migas sebagai BHMN dengan Kontraktor). Dalam mekanisme Goverment to Business, jika terjadi dispute dan pemerintah mendapat tuntutan hukum, persoalan mesti diselesaikan di arbitrase internasional. Akibatnya, negara bisa diseret ke pengadilan dan jika dinyatakan bersalah, aset-aset negara dapat langsung disita.

Kedua, BP migas sebagai pengelola sektur hulu migas, tak dapat langsung menjual produksi migas bagian negara. Hal ini disebabkan oleh statusnya sebagai badan hukum. BP migas harus menunjuk pihak ketiga untuk menjual migas bagian negara. Sebagai akibatnya, Pertamina harus menunjuk pihak ketiga untuk membeli minyak bagian pemerintah untuk dikilang. Ini menimbulkan biaya baru, yakni biaya pihak ketiga. Prosedur ini membuat harga produksi minyak lebih mahal sehingga makin memberatkan masyarakat. Sebelum ada UU Migas, minyak bagian negara bisa langsung dikirim ke kilang minyak Pertamina untuk kemudian diolah dan didistribusikan. Sistem  yang vertically  integratedseperti ini lebih efisien sehingga biaya produksi BBM bisa ditekan.

Ketiga, UU Migas dinilai tidak investor friendly. Sebagaimana kita ketahui bahwa industri migas adalah industri yang padat modal. Pemerintah perlu membuka kran untuk mengalirnya investasi asing, terutama pada tahap eksplorasi migas agar ditemukan sumur-sumur baru. Keberadaan UU migas tidak memberikan dampak signifikan terhadap produksi migas kita. Pengamat perminyakan, Dr. Kurtubi, menyatakan sebagaimana dikutip dari hasil Survey Fraser Institute 2010, kondisi investasi migas Indonesia amat buruk. Peringkat 114 dari 145 negara. UU migas menjadikan investasi di Indonesia begitu birokratis. Setelah UU ini berlaku, jika investor ingin berinvestasi, setidaknya ia harus berurusan dengan tiga lembaga legara yakni Dirjen Migas ESDM, BP migas, dan Dirjen Migas. Sebelum UU ini berlaku, investor hanya perlu berurusan dengan Pertamina. Prosedur yang kini berlaku amat menyulitkan investor karena terlalu birokratis. Hal ini juga memperbesar celah terjadinya korupsi karena makin banyak lembaga negara yang dilibatkan secara langsung.

Selain karena persoalan birokrasi, tidak investor friendly-nya UU migas juga disebabkan oleh adanya berbagai pungutan ,seperti bea masuk, pada tahap eksplorasi ( pasal 31 UU Migas). Padahal tahap eksplorasi merupakan tahap yang menguras biaya besar dengan resiko yang juga tidak kecil. Artinya, pada tahap eksplorasi, belum tentu ditemukan lapangan minyak baru yag siap produksi. Pada UU Pertamina, berbagai pajak dan bea masuk baru diterapkan setelah ditemukannya cadangan minyak baru, pada tahap eksplorasi investor masih dibebaskan dari berbagai pungutan. Buruknya kondisi investasi membuat kegiatan eksplorasi minim sehingga tak ditemukan cadangan minyak terbukti baru. Ini yang menyebabkan produksi minyak Indonesia cenderung terus menurun, tidak ada penemuan lapangan minyak baru. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang seakan  memaksa peningkatan konsumsi minyak, turunnya produksi munyak menyebabkan impor minyak mentah ataupun BBM meningkat dari tahun ke tahun.

Keempat, sebagai badan hukum, neraca keuangan BP migas independen, terpisah dari kekayaan negara dan tidak diambil dari APBN. Biaya operasional BP Migas diambil dari fee pemerintah dan kontraktor. Ironisnya, dengan neraca keuangannya yang independen, BP migas tidak memiliki komisaris ataupum majelis wali amanat (MWA) sehingga rawan terjadi “penggelapan”. Pada pasal 45 ayat 2 UU migas disebutkan bahwa unsur-unsur BP migas terdiri dari pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif.  Rekam jejak BP migas pun tak begitu menggembirakan, BPK berulang kali memberi opini adverse (penilaian terburuk dalam audit karena tidak sesuai standar) terhadap laporan keuangan BP Migas. Kendati tiga tahun terakhir status keuangan BP migas sudah membaik menjadi wajar tanpa pengecualian ( WTP), potensi penggelapan bukan berarti tertutup. Sekali lagi karena statusnya sebagai regulator berupa badan hukum,  bukan pemain atau operator, BP migas tak terlibat secara langsung ke lapangan secara intens. BP migas seringkali hanya menerima laporan bersihlifting minyak dari kontraktor.

Perusahaan migas negara (NOC)semula  didirikan untuk menjamin ketahanan energi nasional. Diharapkan dengan adanya NOC negara dapat berdaulat , menguasai dan mengelola lapangan migasnya sendiri. Itu kondisi idealnya. Adapun di masa lalu kita menggandeng kontraktor asing dalam kontrak kerja sama, itu dimaksudkan agar ada transfer teknologi dan penumpukan kapital negara karena saat itu tenaga ahli dan modal domestik amat minim. Pada akhirnya lapangan migas Indonesia mesti dikelola oleh perusahaan indoenesia dan bangsa Indonesia.  Namun, pengelolaan yang keliru menyebabkan penumpukan modal untuk mengelola sendiri tak kunjung tercapai. Hingga kini perusaan asing masing mengelola 74% lapangan minyak di Indonesia. Kita perlu realistis, sulit rasanya kita melakukan nasionalisasi secara radikal dengan “menendang” kontraktor-kontraktor asing dari lapangan minyak Indonesia. Namun, setidaknya blok-blok migas yang akan habis kontraknya ada kepastian hukum untuk dikelola  perusahaan negara, tak diperpanjang oleh kontraktor asing.

Pembenahan payung hukum di sektor migas perlu segera dilakukan untuk mencapai ketahanan energi nasional. Ruh yang perlu ada di dalam payung hukum migas adalah keberpihakan pada kepentingan nasional. Konkretnya, NOC harus diprioritaskan untuk mengelola blok-blok migas yang dinilai mampu dikelola NOC, tentu disertai instruksi pemerintah untuk meningkatkan kinerja NOC.

  
Pustaka
·         Draft UU no. 22 Tahun 2001 tentang Migas
·  Partowidagdo, Widjajono. 2010. Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. Bandung : Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB
·         Partowidagdo, Widjajono. 2009 . Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis Kebijakan. Jakarta : Pertamina
·         Syeirazi, Khalid. 2009. Di Bawah Bendera Asing : Liberalisasi Industri Migas di Indonesia. Jakarta : LP3ES
·         Slide Presentasi : Kembalikan Blok Migas Selesai Kontrak. Kurtubi. Disampaikan pada Seminar Migas di Ruang GBHN Nusantara  MPR, 17 Juli 2012


Fajar Cipta Yudha Perkasa
Kementerian Kebijakan Nasional KM ITB 2012/2013
Lingkar Studi Indonesia Perkasa
follow : @itb4nation

Share |

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites