” Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di
dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang”
Ir. Soekarno
Beberapa organisasi masyarakat kini tengah mengajukan judicial
review UU Migas. Undang-undang ini dinilai banyak pihak tidak sejalan
dengan amanah konstitusi dan merugikan Indonesia. Gugatan masyarakat kini
semakin kuat menjelang habisnya kontrak puluhan blok migas yang kini dikuasai
oleh perusahaan multinasional. Hingga tahun 2021 mendatang terdapat sekitar 29
blok migas asing yang habis masa kontraknya. Beberapa di antaranya yaitu
Siak (kini dikelola Chevron, habis 2013), Mahakam (Total, 2017), South Sumatra,
SES (CNOOC,2018),South Natuna Sea B (Conoco-Phillips, 2018), East Kalimantan
(Chevron, 2017), Sanga-sanga (Virginia, 2018), Lho Sukon B (Exxon, 2017),
Corridor, Bertak, dan Bijak Ripah (Conoco-Phillips, 2016), Onshore Salawati
Basin (PetroChina,2016), dan Arun B (Exxon, 2017).
Di mana sebenarnya letak kekeliruan UU migas ? Pada opini energi
sebelumnya, telah penulis paparkan aspek historis yang melatarbelakangi
lahirnya UU Migas. Dalam tulisan ini penulis akan mengemukakan keganjilan yang
terdapat dalam UU migas dari aspek keberpihakan pada negara dan aspek tata
lembaga.
Aspek keberpihakan kepada negara
UU Migas tak memberikan kepastian bahwa pihak nasional
diprioritaskan untuk penguasaan dan pengelolaan wilayah migas. Setelah UU ini
berlaku, Pertamina yang dalam hal ini perusahaan negara (National Oil
Company, disingkat NOC) kedudukannya setara dengan perusahaan-perusahaan
migas lain. NOC kemudian hanya berperan sebagai peserta tender bersama
perusahaan migas lain, sedangkan negara yang diwakili BP Migas hanya berperan
sebagai regulator, atau lebih sederhananya, sebagai juri yang netral. Hak
monopoli Pertamina (sebagaimana ada saat UU Pertamina berlaku) sebagai NOC
dicabut.
Di satu sisi Pertamina berkembang karena bersaing dengan banyak
kontraktor, di sisi lain Pertamina harus bersaing dengan perusahaan –perusahaan
minyak dengan kelas yang lebih tinggi. Ini logika sistem ekonomi kapitalis-liberal
yang seakan adil memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta. Setiap
peserta dikondisikan untuk bersaing sehingga pada akhirnya pihak yang paling
berkualitas dan paling efisien lah yang keluar sebagai pemenang. Padahal
kenyataannya, setiap peserta berangkat dari titik yang berbeda. Bagai
mengadukan petinju kelas bulu dengan petinju kelas berat, tentu hampir bisa
dipastikan petinju kelas beratlah yang keluar sebagai pemenang. Persaingan
dalam dunia migas yang melibatkan berbagai perusahaan dari berbagai level tentu
hanya akan menghasilkan monopoli atau oligopoli baru, dimana satu atau beberapa
perusahaan migas dengan kapital terbesar dan sudah mapan terlebih dahulu lah
yang akan menguasai pasar. Justru seharusnya pemerintah membenahi dan
memberdayakan Pertamina hingga cukup setara dengan perusahaan-perusahaan asing
sebelum memasuki area pasar bebas.
Tidak ada yang salah dengan monopoli negara dibidang migas . Kita
dapat melihat Petronas yang dahulu banyak belajar dari Pertamina pada tahun
1970an. Namun, kini Petronas telah jauh melesat mendahului Pertamina.
Dalam Petroleum Intelligence View 2009 tercatat Petronas
berada di peringkat 9, sedangkan Pertamina berada di peringkat 30. Padahal pada
awal tahun 1970an Petronas mengadaptasi langsung UU no.8 Tahun 1971 ( UU
Pertamina) sebagai regulasi pengelolaan migas dan diberi nama Petroleum
Development Act 1975 (PAD 1975). Sampai sekarang Petronas masih
menggunakan payung hukum yang sama. Sebagaimana UU Pertamina, PAD 1975
memberikan kuasa penuh terhadap sumber daya migas negara. Di sektor hulu, semua
investasi asing langsung di bawah pengawasan Pertamina. Petronas pun,
sebagai Integrated State Oil Company,diberi wewenang untuk menjadi
pemain sekaligus regulator dalam industri migas Malaysia. Petronas langsung di
bawah Perdana Menteri Malaysia, sehingga ia dapat berekspansi bisnis secara
leluasa. Dengan menggunakan PAD 1975, yang merupakan adaptasi dari UU
Pertamina, Petronas mampu menjadi perusahaan minyak kelas dunia. Ini menunjukan
bahwa tak selamanya monopoli perusahaan negara atas sektor migas bertentangan
dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Konstitusi kita pun menegaskan bahwa
minyak sebagai barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai
negara.
Aspek Tata Lembaga
Dengan adanya UU Migas, Pertamina yang di UU sebelumnya diberi
kuasa sebagai regulator sekaligus pemain kini hanya bertindak sebagai pemain.
Sebagai regulator, dibentuklah BP ( Badan Pelaksana) Migas yang berstatus Badan
Hukum Milik Negara. Yang paling banyak dipertanyakan adalah keberadaan BP migas
yang justru membuat industri migas tidak efisien. Terdapat beberapa
keganjilan sebagai implikasi dari tata lembaga dalam UU migas ini.
Pertama, negara telah
menurunkan kedaulatannya dengan menyejajarkan diri dengan kontraktor asing. UU
Migas mengubah skema bisnis migas dari yang semula Business to
Business ( Perusahaan negara dengan Kontraktor) menjadi Goverment
to Business ( Pemerintah yang diwakili BP Migas sebagai BHMN dengan
Kontraktor). Dalam mekanisme Goverment to Business, jika
terjadi dispute dan pemerintah mendapat tuntutan hukum,
persoalan mesti diselesaikan di arbitrase internasional. Akibatnya, negara bisa
diseret ke pengadilan dan jika dinyatakan bersalah, aset-aset negara dapat
langsung disita.
Kedua, BP migas sebagai
pengelola sektur hulu migas, tak dapat langsung menjual produksi migas bagian
negara. Hal ini disebabkan oleh statusnya sebagai badan hukum. BP migas harus
menunjuk pihak ketiga untuk menjual migas bagian negara. Sebagai akibatnya, Pertamina
harus menunjuk pihak ketiga untuk membeli minyak bagian pemerintah untuk
dikilang. Ini menimbulkan biaya baru, yakni biaya pihak ketiga. Prosedur ini
membuat harga produksi minyak lebih mahal sehingga makin memberatkan
masyarakat. Sebelum ada UU Migas, minyak bagian negara bisa langsung dikirim ke
kilang minyak Pertamina untuk kemudian diolah dan didistribusikan. Sistem
yang vertically integratedseperti ini lebih efisien sehingga
biaya produksi BBM bisa ditekan.
Ketiga, UU Migas dinilai
tidak investor friendly. Sebagaimana kita ketahui bahwa industri
migas adalah industri yang padat modal. Pemerintah perlu membuka kran untuk
mengalirnya investasi asing, terutama pada tahap eksplorasi migas agar
ditemukan sumur-sumur baru. Keberadaan UU migas tidak memberikan dampak
signifikan terhadap produksi migas kita. Pengamat perminyakan, Dr. Kurtubi,
menyatakan sebagaimana dikutip dari hasil Survey Fraser Institute 2010, kondisi
investasi migas Indonesia amat buruk. Peringkat 114 dari 145 negara. UU migas menjadikan
investasi di Indonesia begitu birokratis. Setelah UU ini berlaku, jika investor
ingin berinvestasi, setidaknya ia harus berurusan dengan tiga lembaga legara
yakni Dirjen Migas ESDM, BP migas, dan Dirjen Migas. Sebelum UU ini berlaku,
investor hanya perlu berurusan dengan Pertamina. Prosedur yang kini berlaku
amat menyulitkan investor karena terlalu birokratis. Hal ini juga memperbesar
celah terjadinya korupsi karena makin banyak lembaga negara yang dilibatkan
secara langsung.
Selain karena persoalan birokrasi, tidak investor
friendly-nya UU migas juga disebabkan oleh adanya berbagai pungutan
,seperti bea masuk, pada tahap eksplorasi ( pasal 31 UU Migas). Padahal tahap
eksplorasi merupakan tahap yang menguras biaya besar dengan resiko yang juga tidak
kecil. Artinya, pada tahap eksplorasi, belum tentu ditemukan lapangan minyak
baru yag siap produksi. Pada UU Pertamina, berbagai pajak dan bea masuk baru
diterapkan setelah ditemukannya cadangan minyak baru, pada tahap eksplorasi
investor masih dibebaskan dari berbagai pungutan. Buruknya kondisi investasi
membuat kegiatan eksplorasi minim sehingga tak ditemukan cadangan minyak
terbukti baru. Ini yang menyebabkan produksi minyak Indonesia cenderung terus
menurun, tidak ada penemuan lapangan minyak baru. Di tengah pertumbuhan ekonomi
yang seakan memaksa peningkatan konsumsi minyak, turunnya produksi munyak
menyebabkan impor minyak mentah ataupun BBM meningkat dari tahun ke tahun.
Keempat, sebagai
badan hukum, neraca keuangan BP migas independen, terpisah dari kekayaan negara
dan tidak diambil dari APBN. Biaya operasional BP Migas diambil dari fee pemerintah
dan kontraktor. Ironisnya, dengan neraca keuangannya yang independen, BP migas
tidak memiliki komisaris ataupum majelis wali amanat (MWA) sehingga rawan
terjadi “penggelapan”. Pada pasal 45 ayat 2 UU migas disebutkan bahwa
unsur-unsur BP migas terdiri dari pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan
tenaga administratif. Rekam jejak BP migas pun tak begitu menggembirakan,
BPK berulang kali memberi opini adverse (penilaian terburuk
dalam audit karena tidak sesuai standar) terhadap laporan keuangan BP Migas.
Kendati tiga tahun terakhir status keuangan BP migas sudah membaik menjadi
wajar tanpa pengecualian ( WTP), potensi penggelapan bukan berarti tertutup.
Sekali lagi karena statusnya sebagai regulator berupa badan hukum, bukan
pemain atau operator, BP migas tak terlibat secara langsung ke lapangan secara
intens. BP migas seringkali hanya menerima laporan bersihlifting minyak
dari kontraktor.
Perusahaan migas negara (NOC)semula didirikan untuk menjamin
ketahanan energi nasional. Diharapkan dengan adanya NOC negara dapat berdaulat
, menguasai dan mengelola lapangan migasnya sendiri. Itu kondisi idealnya.
Adapun di masa lalu kita menggandeng kontraktor asing dalam kontrak kerja sama,
itu dimaksudkan agar ada transfer teknologi dan penumpukan kapital negara
karena saat itu tenaga ahli dan modal domestik amat minim. Pada akhirnya
lapangan migas Indonesia mesti dikelola oleh perusahaan indoenesia dan bangsa
Indonesia. Namun, pengelolaan yang keliru menyebabkan penumpukan modal
untuk mengelola sendiri tak kunjung tercapai. Hingga kini perusaan asing masing
mengelola 74% lapangan minyak di Indonesia. Kita perlu realistis, sulit rasanya
kita melakukan nasionalisasi secara radikal dengan “menendang”
kontraktor-kontraktor asing dari lapangan minyak Indonesia. Namun, setidaknya
blok-blok migas yang akan habis kontraknya ada kepastian hukum untuk
dikelola perusahaan negara, tak diperpanjang oleh kontraktor asing.
Pembenahan payung hukum di sektor migas perlu segera dilakukan
untuk mencapai ketahanan energi nasional. Ruh yang perlu ada di dalam payung
hukum migas adalah keberpihakan pada kepentingan nasional. Konkretnya, NOC
harus diprioritaskan untuk mengelola blok-blok migas yang dinilai mampu
dikelola NOC, tentu disertai instruksi pemerintah untuk meningkatkan kinerja
NOC.
Pustaka
·
Draft UU no. 22 Tahun
2001 tentang Migas
· Partowidagdo, Widjajono.
2010. Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. Bandung :
Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB
·
Partowidagdo, Widjajono.
2009 . Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis
Kebijakan. Jakarta : Pertamina
·
Syeirazi, Khalid.
2009. Di Bawah Bendera Asing : Liberalisasi Industri Migas di Indonesia.
Jakarta : LP3ES
·
Slide Presentasi : Kembalikan
Blok Migas Selesai Kontrak. Kurtubi. Disampaikan pada Seminar Migas di
Ruang GBHN Nusantara MPR, 17 Juli 2012
Fajar Cipta Yudha Perkasa
Kementerian Kebijakan Nasional KM ITB 2012/2013
Lingkar Studi Indonesia Perkasa
follow : @itb4nation
0 comments:
Post a Comment