Friday, September 28, 2012

Iklan UU Migas yang Menyesatkan


Pertengahan September lalu, sejumlah tokoh nasional melapor ke dewan pers terkait dimuatnya iklan UU Migas kompas edisi 9 dan 27 Agustus 2012. Iklan ini dinilai sejumlah pihak menyesatkan opini publik. Ini terkait dengan sidang UU migas yang kini banyak digugat ke MK. Iklan seluas setengah halaman koran tersebut tak mencantumkan penulis/ lembaga . Namun, siapa pun yang memasang iklan tersebut, ia pasti memiliki modal yang besar. Muncul dugaan kuat bahwa pemasang iklan adalah pemerintah atau BP migas. Setelah membaca berita terkait pengaduan tokoh-tokoh nasional tersebut, saya mencari-cari koran kompas edisi 9 dan 27 Agustus.  Alhamdulillah, akhirnya saya temukan juga kedua iklan tersebut. Berkut ini hasil poin-poin penting berikut tanggapan atas isinya, mudah-mudahan tidak terlalu terlambat.


Iklan UU migas tanggal 27 Agustus 2012 disebutkan bahwa: Undang-undang no. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu buah hasil perjuangan refomasi tahun 1998 untuk mendorong akuntabilitas , tata kelola industri, dan manajemen pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik serta mendukung anti korupsi.


Telah dipaparkan dalam Opini Energi V bahwa UU Migas, alih-alih merupakan hasil perjuangan reformasi untuk industri hulu migas yang lebih baik, lebih mencerminkan hasil tekanan IMF dan USAID sebagai syarat pinjaman pemerintah RI pasca krisis moneter 1998. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam UU Migas adalah : mencabut kuasa pertambangan dari Pertamina, menyamakan status Pertamina dengan Perusahaan minyak asing, memecah Pertamina atas usaha hulu dan hilir (unbundling) agar sektor migas lebih mudah di privatisasi, menerapkan harga pasar untuk BBM, menghilangkan subsidi BBM, membuka sektor hilir bagi perusahaan asing,  membentuk lembaga baru BP Migas dan BPH Migas. Dokumen lengkap persyaratan yang diajukan IMF dapat dilihat langsung di : http://ww.imf.org/external/np/loi/2000/id/01/index.htm

Dalam dokumen resmi USAID pun, mereka mengakui bahwa mereka turut merumuskan  UU ini : “ USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for the oil and gas legislation.”

UU migas memecah industri migas ke dalam usaha hulu dan hilir, ini berbeda dengan UU sebelumnya yang mengintegrasikan secara vertikal aspek hulu dan hilir ( vertically integrated). Padahal denganvertically integrated, sebuah perusahaan akan lebih efisien. Logikanya sederhananya begini, jika kita memiliki perusahaan yang terintegrasi dari hulu ke hilir, dari penyediaan bahan baku hingga penjualan, rantai supply bisa terjaga dan biaya pihak ketiga bisa ditekan. Hal demikian pula berlaku pada sektor migas. Biaya yang ditanggung konsumen akan lebih rendah jika vertically integrated. Selain itu, jika dilakukan unbundling, hal yang dapat terjadi adalah sebagai berikut : Jika harga minyak mentah dunia naik, maka perusahaan yang ada di sektor hulu akan mendapat keuntungan besar.Akan tetapi, bagaimana di sektor hilir seperti di unit pengilangan misalnya? Jelas keuntungan mereka akan berkurang karena mereka harus mendapatkan bahan baku dengan harga mahal, tetapi harga barang harus sampai di tangan konsumen dengan harga tetap. Dapat terjadi pula sebalikanya jika harga minyak dunia turun, sektor hulu menikmati keuntungan sedikit, tetapi sektor hilir mendapat keuntungan yang melimpah. Ini semua dapat terjadi jika dilakukan unbundling, pemisahan usaha di hulu dengan di hilir. Agar terjadi keseimbangan, maka sebaikanya hulu dan hilir terintegrasi.

Liberalisasi di sektor hilir pun memberikan angin segar bagi perusahaan-perusahaan asing. Tentu saja karena kesempatan untuk merambah ke sektor yang resikonya relatif lebih rendah daripada sektor hulu itu pun terbuka lebar. Ini dikuatkan dengan rencana untuk menyerahkan harga BBM ke pasar. SPBU asinglah pihak pertama yang akan bersorak-sorai jika hal ini terjadi.

Jelas sekali bahwa ketimbang merupakan representasi dari semangat reformasi, UU migas lebih terlihat sebagai hasil dikte kekuatan asing atas perekonomian Indonesia.

***


Dalam iklan 9 Agustus, dikutip kata-kata Bung Hatta:
” Untuk membangun negara kita, kita tidak mempunyai kapital karena itu kita pakai kapital asing untuk kepentingan kita. Kita anti kapitalisme tetapi tidak antikapital. Kita juga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing karena memang kekurangan tenaga ahli.  Mereka itu kita bayar menurut ukuran pembayaran internasional yang memang tinggi jika dibandingkan dengan pembayaran kepada tenaga –tenaga ahli kita. Hal itu jangan diirikan karena mereka itu tidak mempunyai kewajiban terhadap negara kita, sedang kita mempunyai kewajiban terhadap negara dan bangsa.”


Seperti kita ketahui sekitar 74% migas di Bumi Indonesia dikelola oleh perusahaan asing. Pernyataan tersebut dijadikan pembenaran oleh pembuat iklan kaleng untuk permisif terhadap kuasai perusahaan asing di sektor-sektor strategis seperti migas. Jika baca pemikiran-pemikiran ekonomi Hatta, terutama esai-esainya di harian Daulat Rakjat, tampak jelas bahwa beliau begitu membenci kapitalisme dan dominasi modal swasta yang pada akhirnya melahirkan imperialisme. Hatta memang tak anti terhadap modal asing, tetapi pada iklan kaleng tersebut, nyata-nyata pendapat Hatta dipelintir sebagai legitimasi kuasa asing di sektor migas. Menurut Hatta, modal atau bantuan dari luar negeri kepada negara berkembang harus mendorong timbulnya aktivitas ekonomi sendiri. Perekonomian harus dijalankan dengan cita-cita self-help dan self-reliance. Modal atau bantuan tersebut harus melancarkan ekonomi negara berkembang sampai pada suatu tingkat di mana ia seterusnya dapat bergerak sendiri atas kekuatan sendiri (Swasono, 1992). Production Sharing Contract (PSC) yang melibatkan kontraktor asing pun dulu digagas Soekarno agar terjadi penumpukan kapital dan penguasaan teknologi sehingga suatu saat pengelolaan sepenuhnya dapat dilakukan oleh perusahaan negara.

Terkadang ada juga sekelompok orang yang bertanya mengapa perlu mandiri? Bukankah tidak masalah diserahkan ke asing jika itu lebih efisien, asalkan mampu menyejahterakan rakyat? Pada zaman dahulu para pejuang negeri ini berjuang untuk mencapai kemerdekaan, padahal mungkin mereka tahu bahwa perekonomian awal kemerdekaan belum tentu akan lebih baik daripada zaman penjajahan. Padahal di zaman dulu, pemerintahan kolonial banyak membangun infrastruktur, kebun, ataupun industri yang menyerap tenaga kerja. Namun, kaum intelektual pribumi yang sebetulnya memiliki kesempatan emas berkarir di kantor pemerintah maupun di industri, memilih meninggalkan zona nyamannya untuk berjuang mencapai kemerdekaan. Secara naluriah manusia selain menginginkan kesejahteraan juga menginginkan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, ia tak suka dikekang. Dominasi asing akan menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada pihak lain yang menyebabkan masyarakat tersebut kesulitan menentukan masa depannya.  Bayangkan, bagaimana mungkin cita-cita nasional untuk menjaga keamanan dan ketertiban dunia bisa dijalankan jika dalam hal ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada para kapitalis asing.

Bayangkan betapa sedihnya founding fathers jika mereka melihat hingga kini masih begitu bergantungnya kita pada kuasa modal asing. Pada akhir dekade 1970-an pun Bung Hatta sudah mengungkapkan keprihatinannya pada Mochtar Lubis, “…betapa lemahnya kita sekarang melindungi perdagangan dalam negeri kita yang seharusnya berada dalam tangan Indonesia sendiri.” Andaikata masih hidup, Bung Hatta pasti makin sedih dan prihatin karena kata-katanya dijadikan pembenaran dominasi asing oleh pemerintah bermental inlander.

( Kata-kata Bung Hatta dalam iklan juga dikutip oleh saksi ahli pemerintah saat sidang JR 1 Agustus lalu, kebetulan saat itu saya hadir di MK. Ini menguatkan dugaan bahwa yang memasang iklan tersebut adalah pemerintah/BP Migas)

***
Iklan kompas 27 Agustus berjudul : NEGARA BERDAULAT PENUH ATAS SUMBER DAYA MIGAS. Pada iklan  tersebut, disebutkan pasal 4 ayat 1, 2, dan 3 jadi dasarnya bahwa kedaulatan masih di tangan negara. Selain itu, iklan tersebut menyebutkan bahwa kekayaan alam migas Indonesia tetap terjamin milik Pemerintah meskipun keberadaan fisiknya  bisa tidak di wilayah hukum Indonesia. Iklan tersebut memberikan contoh bahwa jika LNG Indonesia dikirimkan kepada pembeli di luar negeri, saat sewaktu-waktu dibutuhkan untuk pasokan domestik, selama belum sampai titik penyerahan, dapat diminta kembali oleh Indonesia.

Makna penguasaan oleh negara dalam pasal 4 ayat 1 dan Kuasa Pertambangan pada ayat 2 sebenarnya menjadi rancu ketika pemerintah menyerahkan Kuasa Pertambangannya itu kepada Badan Pelaksana (BP Migas). BP migas mewakili pemerintah untuk berkontrak dengan perusahaan. Jadi pola perjanjian yang terjadi adalah B to G, bukan B to B.  Pemerintah dalam hal ini merendahkan kedudukannya menjadi setara dengan perusahaan asing. Apa dampaknya? Dampaknya jika suatu saat terjadi perselisihan dalam kerjasama, negara dapat diseret ke arbitrase internasional. Hal ini juga memungkinkan disitanya aset negara yang ada di luar negeri misalnya pesawat, kantor kedutaan,dll.

Ada pula yang menganggap bahwa kontrak yang terjadi berpola BP migas to B. Artinya, BP migas tak bisa disamakan dengan pemerintah atau negara. Pertanyaannya lalu BP migas apa? Apakah mungkin perusahaan asing internasional mau berkontrak dengan BP migas sebagai badan hukum dan tak ada  jaminan? Tentu tak akan mau. Kita tahu bahwa BP migas tak memiliki aset sebagaimana perusahaan migas. Kantor mereka saja kini masih menyewa di Gedung Wisma Mulia. Perusahaan asing mau berkontrak dengan BP migas karena dibelakang BP Migas ada pemerintah sehingga ada jaminan aset-aset, termasuk  economics right migas.

Dalam mekanisme B to G, sewaktu-waktu pemerintah merasa dirugikan dan hendak mengubah perkanjian, perlu mendapat persetujuan pihak kontraktor. Itu disebabkan keduduka bahwa pemerintah yang sejajar dengan kontraktor. Contoh pola serupa adalah tambang freeport. Pemerintah begitu sulitnya melakukan renegosiasi untuk menaikan royalti dari 1% menjadi 3,75%.

Di sektor migas, jelas sekali kontrak LNG (Liquified Natural Gas) Tangguh antara pemerintah dan BP (British Petroleum) , yang berarti berpola B to G, begitu merugikan negara. Blok Tangguh yang dikelola BP menjual gas hanya dengan harga US$3,35 per mmbtu (million british thermal unit) ke Fujian Cina , sementara di saat yang sama harga jual gas ke dalam negeri US$7 per mmbtu. Penjualan LNG Tangguh ini juga jauh di bwah harga LNG Badak di Kaltim yang di ekspor ke seharga US$ 20 per mmbtu ( Lapangan ini dikembangkan dengan UU Pertamina). Negara dirugikan puluhan trilyun per tahun dengan penjualan murah LNG Tangguh ke Cina. Di saat yang sama banyak industri dalam negeri yang membutuhkan gas seperti industri pupuk, semen, dan kertas.  Jelas statement  iklan yang menyatakan bahwa pengapalan LNG dapat dibatalkan dan disuruk balik ke RI jika perlu pasokan domestik terbantahkan.

Posisi BP migas sebagai badan hukum pun tidak memungkinkan BP migas menjual langsung bagian gas milik negara. Dalam hal ini, BP migas harus menunjuk pihak ketiga, dan sayangnya pihak ketiga yang ditunjuk tak selalu Pertamina. Untuk kasus LNG Tangguh ini, BP Migas justru menunjuk BP (British Petroleum) untuk menjual gas bagian negara.

Pola B to G yang dijalankan sekarang dengan UU migas menyulitkan renegosiasi pemerintah dengan perusahaan asing. Posisi yang setara menyebabkan perubahan kerjasama perlu mendapat persetujuan dari pihak asing. Ini tak akan terjadi jika pola yang dipakai adalah B to B, seperti yang ada pada UU Pertamina. Pola B to B menjadikan pemerintah berada di atas kontrak sehingga jika terjadi perubahan tak perlu mendapat persetujuan dari pihak asing. Sebagai contoh, dahulu di tahun 60an hingga 1970an awal, kontrak bagi hasil pembagiannya 60% negara dan 40% kontraktor. Saat itu harga minyak dunia sekitar US$ 2 per barrel. Namun, seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia, kontrak ini dirasa tidak cukup adil. Pemerintah akhirnya mengubah pembagiannya menjadi 85% negara dan 15% kontraktor tanpa perlu menunggu persetujuan kontraktor. Ini bisa, karena pola yang digunakan adalah B to B.

***

Terkait cost recovery, dalam Iklan 9 Agustus tertulis: “ Sesungguhnya cost recovery tidak memiliki hubungan linear dengan  produksi apalagi lifting. Perlu diingat sebagian besar lapangan-lapangan minyak di Indonesia adalah lapangan tua dengan produksi yang menurun di satu sisi, dan naiknya kebutuhan akan biaya di sisi lain…”

Cost recovery merupakan pengembalian biaya pengadaan migas ( termasuk biaya eksplorasi, pengadaan alat, eksploitasi, dan biaya operasi)  oleh negara kepada kontraktor karena telah menghasilkan migas secara komersial. Cost recovery dibayarkan dalam bentuk migas seharga uang yang dibayarkan. Yang sering disoroti adalah peningkatan cost recovery dari tahun ke tahun, sementara lifting minyak justru turun dari tahun ke tahun. Bahkan lifting minyak selalu di bawah target.

Sumber : DESDM

Alasan kenapa cost recovery selalu naik ditengah lifting migas yang turun telah dipaparkan dalam iklan kaleng 9 Agustus. Selain itu, menurut pemerintah kenaikan cost recovery dapat dianggap wajar karena harga minyak naik,produksi gas naik, serta adanya biaya treatment khusus untuk ladang minyak tua untuk menggenjot produksi migas ( Enhanced Oil Recovery/EOR).

Namun, kecurigaan berbagai pihak bahwa terjadi penyelewengan dana cost recovery di tubuh BP Migas bukan tanpa alasan. Kendati, kontraktor asing mengajukan Plan of Development, Work Program and Budget, Authority for Expenditure ( rencana pengembangan, pengeluaran,dan otoritas pembelanjaan), itu semua dilakukan di bawah BP Migas. Sedangkan BP migas itu badan hukum yang tidak mempunyai MWA ataupun komisaris sehingga mekanisme kontrolnya lemah. Ini memperikan peluang dilakukannya markup. Belakangan justru BP migas mengusulkan agar CSR ( Corporate Social Responsibility) dimasukkan ke dalam komponen cost recovery !

Selain itu, isu-isu penyelewengan kekayaan negara di aspek hulu pun tak kunjung reda meski UU Pertamina telah diganti oleh UU Migas. Padahal, yang sering dijadikan alasan untuk mencabut UU Pertamina adalah masalah korupsi, akuntabilitas, dan transparansi. Tahun 2011 misalnya, KPK menemukan aset negara di sektor migas senilai Rp 225 trilyun tidak jelas pengelolaannya. Tahun 2007, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP) menemukanindikasi penyimpangan cost recovery sebesar Rp18trilyun.Tahun 2012 pun, anggota BPK menyatakan bahwa ada dugaan kerugian penerimaan negara di sektor migas sekitar US$ 1,7 milliar. Terakhir, berdasarkan temuan FITRA, ada dugaan korupsi senilai Rp76 miiliar terkait pnyewaan gedung kantor BP migas. Kebiasaan pejabat-pejabat BP migas untuk melakukan rapat di hotel mewah pun menjadi sorotan banyak pihak.

Semangat perjuangan reformasi justru dipertanyakan dengan berlakunya UU Migas dan adanya BP Migas. Adanya lembaga ini justru memperumit birokrasi, apalagi karyawan BP Migas yang jumlahnya mencapai 740 orang dan terus akan bertambah.


” Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politiek, tapi soal bagaimana menjadiken manusia yang di dalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya” 
Ir. Soekarno





Referensi :
·         Harian Kompas 9 Agustus 2012, 27 Agustus 2012, dan 20 September 2012
·         Partowidagdo, Widjajono. 2009 . Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis Kebijakan. Jakarta : Pertamina 
·         Data ESDM 2011
·         Swasono, Sri-Edi,dkk. 1992. Mohammad Hatta ,Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi bagi Indonesia. Jakarta : UI Press


Fajar Cipta Yudha Perkasa
Kementerian Kebijakan Nasional KM ITB 2012/2013
Lingkar Studi Indonesia Perkasa
Share |

Dimana Ketahanan Energi Nasional


” Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang”
 Ir. Soekarno


Beberapa  organisasi masyarakat kini tengah mengajukan judicial review UU Migas. Undang-undang ini dinilai banyak pihak tidak sejalan dengan amanah konstitusi dan merugikan Indonesia. Gugatan masyarakat kini semakin kuat menjelang habisnya kontrak puluhan blok migas yang kini dikuasai oleh perusahaan multinasional. Hingga tahun 2021 mendatang terdapat sekitar 29 blok  migas asing yang habis masa kontraknya. Beberapa di antaranya yaitu Siak (kini dikelola Chevron, habis 2013), Mahakam (Total, 2017), South Sumatra, SES (CNOOC,2018),South Natuna Sea B (Conoco-Phillips, 2018), East Kalimantan (Chevron, 2017), Sanga-sanga (Virginia, 2018), Lho Sukon B (Exxon, 2017), Corridor, Bertak, dan Bijak Ripah (Conoco-Phillips, 2016), Onshore Salawati Basin (PetroChina,2016), dan Arun B (Exxon, 2017).

Di mana sebenarnya letak kekeliruan UU migas ? Pada opini energi sebelumnya, telah penulis paparkan aspek historis yang melatarbelakangi lahirnya UU Migas. Dalam tulisan ini penulis akan mengemukakan keganjilan yang terdapat dalam UU migas dari aspek keberpihakan pada negara dan aspek tata lembaga.

Aspek keberpihakan kepada negara

UU Migas tak memberikan kepastian bahwa pihak nasional diprioritaskan untuk penguasaan dan pengelolaan wilayah migas. Setelah UU ini berlaku, Pertamina yang dalam hal ini perusahaan negara (National Oil Company, disingkat NOC) kedudukannya setara dengan perusahaan-perusahaan migas lain. NOC kemudian hanya berperan sebagai peserta tender bersama perusahaan migas lain, sedangkan negara yang diwakili BP Migas hanya berperan sebagai regulator, atau lebih sederhananya, sebagai juri yang netral. Hak monopoli Pertamina (sebagaimana ada saat UU Pertamina berlaku) sebagai NOC dicabut.

Di satu sisi Pertamina berkembang karena bersaing dengan banyak kontraktor, di sisi lain Pertamina harus bersaing dengan perusahaan –perusahaan minyak dengan kelas yang lebih tinggi. Ini logika sistem ekonomi kapitalis-liberal yang seakan adil memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta. Setiap peserta dikondisikan untuk bersaing sehingga pada akhirnya pihak yang paling berkualitas dan paling efisien lah yang keluar sebagai pemenang. Padahal kenyataannya, setiap peserta berangkat dari titik yang berbeda. Bagai mengadukan petinju kelas bulu dengan petinju kelas berat, tentu hampir bisa dipastikan petinju kelas beratlah yang keluar sebagai pemenang. Persaingan dalam dunia migas yang melibatkan berbagai perusahaan dari berbagai level tentu hanya akan menghasilkan monopoli atau oligopoli baru, dimana satu atau beberapa perusahaan migas dengan kapital terbesar dan sudah mapan terlebih dahulu lah yang akan menguasai pasar. Justru seharusnya pemerintah membenahi dan memberdayakan Pertamina hingga cukup setara dengan perusahaan-perusahaan asing sebelum memasuki area pasar bebas.

Tidak ada yang salah dengan monopoli negara dibidang migas . Kita dapat melihat Petronas yang dahulu banyak belajar dari Pertamina pada tahun 1970an. Namun, kini Petronas telah jauh melesat mendahului Pertamina. Dalam Petroleum Intelligence View 2009 tercatat Petronas berada di peringkat 9, sedangkan Pertamina berada di peringkat 30. Padahal pada awal tahun 1970an Petronas mengadaptasi langsung UU no.8 Tahun 1971 ( UU Pertamina) sebagai regulasi pengelolaan migas dan diberi nama Petroleum Development Act 1975 (PAD 1975). Sampai sekarang Petronas masih menggunakan payung hukum yang sama. Sebagaimana UU Pertamina, PAD 1975 memberikan kuasa penuh terhadap sumber daya migas negara. Di sektor hulu, semua investasi asing langsung di bawah pengawasan Pertamina. Petronas pun, sebagai Integrated State Oil Company,diberi wewenang untuk menjadi pemain sekaligus regulator dalam industri migas Malaysia. Petronas langsung di bawah Perdana Menteri Malaysia, sehingga ia dapat berekspansi bisnis secara leluasa. Dengan menggunakan PAD 1975, yang merupakan adaptasi dari UU Pertamina, Petronas mampu menjadi perusahaan minyak kelas dunia. Ini menunjukan bahwa tak selamanya monopoli perusahaan negara atas sektor migas bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Konstitusi kita pun menegaskan bahwa minyak sebagai barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.

Aspek Tata Lembaga

Dengan adanya UU Migas, Pertamina yang di UU sebelumnya diberi kuasa sebagai regulator sekaligus pemain kini hanya bertindak sebagai pemain. Sebagai regulator, dibentuklah BP ( Badan Pelaksana) Migas yang berstatus Badan Hukum Milik Negara. Yang paling banyak dipertanyakan adalah keberadaan BP migas yang justru membuat industri  migas tidak efisien. Terdapat beberapa keganjilan sebagai implikasi dari tata lembaga dalam UU migas ini.

Pertama, negara telah menurunkan kedaulatannya dengan menyejajarkan diri dengan kontraktor asing. UU Migas mengubah skema bisnis migas dari yang semula Business  to Business ( Perusahaan negara dengan Kontraktor) menjadi Goverment to Business ( Pemerintah yang diwakili BP Migas sebagai BHMN dengan Kontraktor). Dalam mekanisme Goverment to Business, jika terjadi dispute dan pemerintah mendapat tuntutan hukum, persoalan mesti diselesaikan di arbitrase internasional. Akibatnya, negara bisa diseret ke pengadilan dan jika dinyatakan bersalah, aset-aset negara dapat langsung disita.

Kedua, BP migas sebagai pengelola sektur hulu migas, tak dapat langsung menjual produksi migas bagian negara. Hal ini disebabkan oleh statusnya sebagai badan hukum. BP migas harus menunjuk pihak ketiga untuk menjual migas bagian negara. Sebagai akibatnya, Pertamina harus menunjuk pihak ketiga untuk membeli minyak bagian pemerintah untuk dikilang. Ini menimbulkan biaya baru, yakni biaya pihak ketiga. Prosedur ini membuat harga produksi minyak lebih mahal sehingga makin memberatkan masyarakat. Sebelum ada UU Migas, minyak bagian negara bisa langsung dikirim ke kilang minyak Pertamina untuk kemudian diolah dan didistribusikan. Sistem  yang vertically  integratedseperti ini lebih efisien sehingga biaya produksi BBM bisa ditekan.

Ketiga, UU Migas dinilai tidak investor friendly. Sebagaimana kita ketahui bahwa industri migas adalah industri yang padat modal. Pemerintah perlu membuka kran untuk mengalirnya investasi asing, terutama pada tahap eksplorasi migas agar ditemukan sumur-sumur baru. Keberadaan UU migas tidak memberikan dampak signifikan terhadap produksi migas kita. Pengamat perminyakan, Dr. Kurtubi, menyatakan sebagaimana dikutip dari hasil Survey Fraser Institute 2010, kondisi investasi migas Indonesia amat buruk. Peringkat 114 dari 145 negara. UU migas menjadikan investasi di Indonesia begitu birokratis. Setelah UU ini berlaku, jika investor ingin berinvestasi, setidaknya ia harus berurusan dengan tiga lembaga legara yakni Dirjen Migas ESDM, BP migas, dan Dirjen Migas. Sebelum UU ini berlaku, investor hanya perlu berurusan dengan Pertamina. Prosedur yang kini berlaku amat menyulitkan investor karena terlalu birokratis. Hal ini juga memperbesar celah terjadinya korupsi karena makin banyak lembaga negara yang dilibatkan secara langsung.

Selain karena persoalan birokrasi, tidak investor friendly-nya UU migas juga disebabkan oleh adanya berbagai pungutan ,seperti bea masuk, pada tahap eksplorasi ( pasal 31 UU Migas). Padahal tahap eksplorasi merupakan tahap yang menguras biaya besar dengan resiko yang juga tidak kecil. Artinya, pada tahap eksplorasi, belum tentu ditemukan lapangan minyak baru yag siap produksi. Pada UU Pertamina, berbagai pajak dan bea masuk baru diterapkan setelah ditemukannya cadangan minyak baru, pada tahap eksplorasi investor masih dibebaskan dari berbagai pungutan. Buruknya kondisi investasi membuat kegiatan eksplorasi minim sehingga tak ditemukan cadangan minyak terbukti baru. Ini yang menyebabkan produksi minyak Indonesia cenderung terus menurun, tidak ada penemuan lapangan minyak baru. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang seakan  memaksa peningkatan konsumsi minyak, turunnya produksi munyak menyebabkan impor minyak mentah ataupun BBM meningkat dari tahun ke tahun.

Keempat, sebagai badan hukum, neraca keuangan BP migas independen, terpisah dari kekayaan negara dan tidak diambil dari APBN. Biaya operasional BP Migas diambil dari fee pemerintah dan kontraktor. Ironisnya, dengan neraca keuangannya yang independen, BP migas tidak memiliki komisaris ataupum majelis wali amanat (MWA) sehingga rawan terjadi “penggelapan”. Pada pasal 45 ayat 2 UU migas disebutkan bahwa unsur-unsur BP migas terdiri dari pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif.  Rekam jejak BP migas pun tak begitu menggembirakan, BPK berulang kali memberi opini adverse (penilaian terburuk dalam audit karena tidak sesuai standar) terhadap laporan keuangan BP Migas. Kendati tiga tahun terakhir status keuangan BP migas sudah membaik menjadi wajar tanpa pengecualian ( WTP), potensi penggelapan bukan berarti tertutup. Sekali lagi karena statusnya sebagai regulator berupa badan hukum,  bukan pemain atau operator, BP migas tak terlibat secara langsung ke lapangan secara intens. BP migas seringkali hanya menerima laporan bersihlifting minyak dari kontraktor.

Perusahaan migas negara (NOC)semula  didirikan untuk menjamin ketahanan energi nasional. Diharapkan dengan adanya NOC negara dapat berdaulat , menguasai dan mengelola lapangan migasnya sendiri. Itu kondisi idealnya. Adapun di masa lalu kita menggandeng kontraktor asing dalam kontrak kerja sama, itu dimaksudkan agar ada transfer teknologi dan penumpukan kapital negara karena saat itu tenaga ahli dan modal domestik amat minim. Pada akhirnya lapangan migas Indonesia mesti dikelola oleh perusahaan indoenesia dan bangsa Indonesia.  Namun, pengelolaan yang keliru menyebabkan penumpukan modal untuk mengelola sendiri tak kunjung tercapai. Hingga kini perusaan asing masing mengelola 74% lapangan minyak di Indonesia. Kita perlu realistis, sulit rasanya kita melakukan nasionalisasi secara radikal dengan “menendang” kontraktor-kontraktor asing dari lapangan minyak Indonesia. Namun, setidaknya blok-blok migas yang akan habis kontraknya ada kepastian hukum untuk dikelola  perusahaan negara, tak diperpanjang oleh kontraktor asing.

Pembenahan payung hukum di sektor migas perlu segera dilakukan untuk mencapai ketahanan energi nasional. Ruh yang perlu ada di dalam payung hukum migas adalah keberpihakan pada kepentingan nasional. Konkretnya, NOC harus diprioritaskan untuk mengelola blok-blok migas yang dinilai mampu dikelola NOC, tentu disertai instruksi pemerintah untuk meningkatkan kinerja NOC.

  
Pustaka
·         Draft UU no. 22 Tahun 2001 tentang Migas
·  Partowidagdo, Widjajono. 2010. Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. Bandung : Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB
·         Partowidagdo, Widjajono. 2009 . Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis Kebijakan. Jakarta : Pertamina
·         Syeirazi, Khalid. 2009. Di Bawah Bendera Asing : Liberalisasi Industri Migas di Indonesia. Jakarta : LP3ES
·         Slide Presentasi : Kembalikan Blok Migas Selesai Kontrak. Kurtubi. Disampaikan pada Seminar Migas di Ruang GBHN Nusantara  MPR, 17 Juli 2012


Fajar Cipta Yudha Perkasa
Kementerian Kebijakan Nasional KM ITB 2012/2013
Lingkar Studi Indonesia Perkasa
follow : @itb4nation
Share |

Tentang UU Migas


Migas Indonesia dibawah UU No. 22 Tahun 2001

Peraturan sektor migas di Indonesia saat ini memakai Undang-undang no.22 tahun 2001 atau biasa disebut UU Migas. Sampai saat ini, undang-undang tersebut masih menuai kontroversi di kalangan masyarakat karena dinilai amat pro-liberalisasi  yang tidak menjamin pasokan BBM dan gas bumi dalam negeri. Meskipun peraturan ini resmi disahkan pada tahun 2001, belakangan kembali ramai terdengar isu merevisi undang-undang tersebut dan ini dinilai sebagai agenda mendesak mengingat jika keadaan dibiarkan seperti sekarang, Indonesia rentan terkena krisis energi. Substansi dalam  UU tersebut yang dinilai tidak melindungi kepentingan nasional, malah menjadi tonggak liberalisasi dan privatisasi sektor migas di indonesia karena UU ini dianggap telah mengebiri  hak monopoli perusahaan negara, namun di sisi lain menciptakan sistem birokrasi yang rumit bagi investor.

Pertamina Pra UU Migas

Sebelum tahun 2001,Pertamina, berdasarkan UU No.8 tahun 1971 (UU Pertamina) merupakanIntegrated State Oil Company, sebagai satu-satunya perusahan negara yang berusaha melaksanakan pengusahaan migas mencakup eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, serta pemasaran dengan sistem monopoli terpadu. Selain itu Pertamina juga bertugas menyediakan dan melayani kebutuhan  bahan bakar dalam negeri. Akan tetapi, mengingat sektor migas merupakan sektor yang padat modal (capital intensive) dan beresiko tinggi (high risk), juga memerlukan teknologi yang tinggi sehingga perlu bekerja sama dengan pihak lain dalam  bentuk kerjasama Production  Sharing Contract (PSC). Akan tetapi, pihak lain yang dimaksud hanya berperan sebagai kontraktor yang memperoleh bagi hasil dengan persentasi tertentu. Sistem tersebut banyak ditiru negara-negara lain dan dianggap sistem yang melindungi kebutuhan energi nasional. Konsep ini diperkenalkan oleh Ibnu Sutowo, direktur pertama Pertamina. Lama-kelamaan Pertamina digerogoti korupsi di dalamnya. Pertamina dinilai tertutup, tidak transparan dan keuntungan usahanya banyak dipakai untuk memperkaya para perwira tinggi militer yang ada di Pertamina , sumber pendapatan angkatan darat,dan tentu saja keluarga Cendana.Walhasil, para teknokrat di sekeliling Soeharto mendesak agar keuangan pertamina langsung dikendalikan pemerintah dan dalam implementasinya, ketetapan ini justru membuat ekspansi modal Pertamina di sektor hulu kurang berkembang. Pemerintah pun sering telat membayar  fee kepada Pertamina. Ini membuat Pertamina tidak berkembang.

Transformasi

Di akhir Orde Baru, ditengah badai krisis, Soeharto mengundang IMF untuk membantu Indonesia. IMF bersedia mengucurkan dana asalkan Indonesia menjalankan agenda reformasi ekonomi, diantaranya reformasi sektor energi , lebih khusus lagi reformasi harga energi dan reformasi lembaga pengelola energi dan IMF mendesak agar segera dibentuk RUU Migas yang gagasan pokoknya yakni mereduksi monopoli Pertamina dengan memecahkan industri pertamina yang semula terintegrasi  dari hulu ke hilir dan meliberalisasi sektor migas dengan membuka selebar-lebarnya ladang investasi bagi perusahaan swasta.

Pemerintah pun membuat rancangan UU Migas dengan dalih bahwa dengan adanya monopoli Pertamina, akan terjadi inefisiensi, rentan korupsi. Pertamina juga posisinya dijadikan sejajar  dengan kontraktor lain dan dibentuk institusi nonbisnis yakni Badan Pelaksana Migas yang mengendalikan kegiatan usaha hulu di bidang Migas. Menurut pemerintah, dengan begitu akan terjadi persaingan sehat  yang akan memacu Pertamina agar menjadi perusahaan yang lebih maju. Namun, bahayanya RUU ini adalah tidak adanya jaminan keamanan pemenuhan kebutuhan migas dalam negeri. Para kontraktor biasanya lebih memilih untuk menjual migas ke luar negeri. RUU pun di bahas bersama dengan DPR  dan diwarnai oleh berbagai kritikan. Namun, DPR gagal mementahkan RUU yang dibuat pemerintah, RUU Migas pun disahkan menjadi UU pada Oktober 2001.


Masa Depan Industri

Karena kontrol cadangan dan produksi minyak tidak  berada di tangan negara, maka pemerintah tidak dapat menjamin keamanan pasokan migas. Krisis migas pun tidak mustahil untuk terjadi, industri  pupuk, semen,  kertas, dsb pun terancam bangkrut atau tidak berproduksi secara optimum karena banyaknya gas yang malah diekspor ke luar negeri seperti China dan Jepang dengan harga yang  jauh dibawah harga pasaran dunia.



UU Migas tidak Investor Friendly

UU Migas di sisi lain dianggap tidak investor friendly. Hal ini disebabkan adanya berbagai jenis pungutan sebelum eksplorasi,retribusi,dan pajak  yang memberatkan  investorkarena proses birokrasi yang berbelit-belit. Kurang lebih jalurnya sebagai berikut: investor–Ditjen Migas–BP–Migas–Bea Cukai–Pemda–Pemboran sumur. Saat UU No. 8 tahun 1971 proses birokrasinya seperti ini: investor–Pertamina–Pemboran sumur. Alhasil sedikit investor yang bersedia menanam modal di RI.Ini membuat produksi migas sulit ditingkatkan ditengah angka konsumsi migas yang semakin tinggi.

Kebijakan dan Relasi Korporat

Jika ada orang berkata bahwa kepentingan bisnis dan politik itu amat dekat,  itu benar, terutama dalam industri migas. Bahkan beberapa kali kita menyaksikan perang demi  penguasaan black gold. Amati sejarah Iran, dimana saat itu Iran dipimpin oleh seorang nasionalis bernama Mossadeq yang berniat menasionalisasi AIOC (sekarang Beyond Petroleum-Inggris).Maka inggris membawa isu ke AS bahwa Mossadeq akan membawa Iran dekat dengan komunisme , maka disusunlah sebuah makar yang melibatkan Shah Reza Pahlevi dan militer, yang pada akhirnya membawa Reza Pahlevi, pemimpin yang  sangat pro-Barat ke tampuk kekuasaan. BP pun dapat langgeng bercokol di Iran. Atau kita lihat di negeri kita sendiri, pada masa kolonial di akhir abad 19, semula pemerintah kolonial melarang perusahaan pertambangan partikelir untuk beroperasi di Hindia-Belanda namun karena desakan saudara  Raja William II  ,seorang pengusaha,untuk  membuka lahan investasi, akhirnya Raja mengeluarkan dekrit yang memperbolehkan partikelir beroperasi.
Demikian pula dengan UU Migas , UU tersebut ruhnya dibentuk oleh IMF, yang disokong oleh perusahaan-perusahaan minyak yang besar kepentingan asing. Jelas ini tertuang dalam Letter of Intent Indonesia dengan IMF maka jangan heran jika perusahaan migas asing makin bercokol di Tanah Air (meslipun tidak investor friendly karena ribet dan banyak pungutan). Bukankah investasi  yang sarat resiko biasanya hanya mampu dilakukan perusahaan besar?
Menyamakan kedudukan perusahaan negara dengan perusahaan asing akan mendorong persaingan.  Secara teoritis memberikan kesempatan sama kepada setiap orang untuk berkompetisi dan memperbaiki diri. Ini logika kapitalisme. Namun, kenyataaannya setiap orang/badan usaha berangkat dari titik yang berbeda. Sebagai contoh, seorang pengusaha besar menjual produknya dengan harga yang lebih rendah dari harga pokoknya. Dia merugi awalnya. Akan tetapi, kerugiannya ditopang dengan modalnya yang sudah menumpuk. Harga ini membuat pesaingnya –yang modalnya kurang kuat- rugi dan bangkrut. Setelah pesaingnya bangkrut ia akan memimpin pasar dan menaikan harga jual lebih tinggi.

Penutup

Kini dapat kita lihat  Blok Cepu dikuasai Exxon hingga 2036, Blok Natuna dikuasai Exxon, sedangkan LNG Tangguh di Teluk Bintuni menempatkan BP sebagai operator utama, selama ini perusahaan negara yang dalam hal ini Pertamina terlihat kalah bersaing di rumah sendiri dari perusahaan-perusahaan minyak dari luar. Revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menjadi kian agenda mendesak. Pasalnya dengan revisi ini diharapkan perusahaan minyak negara akan mendapatkan banyak prioritas dari pemerintah dan mengembalikan kedaulatan migas negara ( rakyat).


Fajar Cipta Yudha Perkasa
Deputi Energi
Kementerian Kebijakan Nasional
Kabinet KM-ITB 2012/2013
Share |

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites