Friday, September 28, 2012

Tentang UU Migas


Migas Indonesia dibawah UU No. 22 Tahun 2001

Peraturan sektor migas di Indonesia saat ini memakai Undang-undang no.22 tahun 2001 atau biasa disebut UU Migas. Sampai saat ini, undang-undang tersebut masih menuai kontroversi di kalangan masyarakat karena dinilai amat pro-liberalisasi  yang tidak menjamin pasokan BBM dan gas bumi dalam negeri. Meskipun peraturan ini resmi disahkan pada tahun 2001, belakangan kembali ramai terdengar isu merevisi undang-undang tersebut dan ini dinilai sebagai agenda mendesak mengingat jika keadaan dibiarkan seperti sekarang, Indonesia rentan terkena krisis energi. Substansi dalam  UU tersebut yang dinilai tidak melindungi kepentingan nasional, malah menjadi tonggak liberalisasi dan privatisasi sektor migas di indonesia karena UU ini dianggap telah mengebiri  hak monopoli perusahaan negara, namun di sisi lain menciptakan sistem birokrasi yang rumit bagi investor.

Pertamina Pra UU Migas

Sebelum tahun 2001,Pertamina, berdasarkan UU No.8 tahun 1971 (UU Pertamina) merupakanIntegrated State Oil Company, sebagai satu-satunya perusahan negara yang berusaha melaksanakan pengusahaan migas mencakup eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, serta pemasaran dengan sistem monopoli terpadu. Selain itu Pertamina juga bertugas menyediakan dan melayani kebutuhan  bahan bakar dalam negeri. Akan tetapi, mengingat sektor migas merupakan sektor yang padat modal (capital intensive) dan beresiko tinggi (high risk), juga memerlukan teknologi yang tinggi sehingga perlu bekerja sama dengan pihak lain dalam  bentuk kerjasama Production  Sharing Contract (PSC). Akan tetapi, pihak lain yang dimaksud hanya berperan sebagai kontraktor yang memperoleh bagi hasil dengan persentasi tertentu. Sistem tersebut banyak ditiru negara-negara lain dan dianggap sistem yang melindungi kebutuhan energi nasional. Konsep ini diperkenalkan oleh Ibnu Sutowo, direktur pertama Pertamina. Lama-kelamaan Pertamina digerogoti korupsi di dalamnya. Pertamina dinilai tertutup, tidak transparan dan keuntungan usahanya banyak dipakai untuk memperkaya para perwira tinggi militer yang ada di Pertamina , sumber pendapatan angkatan darat,dan tentu saja keluarga Cendana.Walhasil, para teknokrat di sekeliling Soeharto mendesak agar keuangan pertamina langsung dikendalikan pemerintah dan dalam implementasinya, ketetapan ini justru membuat ekspansi modal Pertamina di sektor hulu kurang berkembang. Pemerintah pun sering telat membayar  fee kepada Pertamina. Ini membuat Pertamina tidak berkembang.

Transformasi

Di akhir Orde Baru, ditengah badai krisis, Soeharto mengundang IMF untuk membantu Indonesia. IMF bersedia mengucurkan dana asalkan Indonesia menjalankan agenda reformasi ekonomi, diantaranya reformasi sektor energi , lebih khusus lagi reformasi harga energi dan reformasi lembaga pengelola energi dan IMF mendesak agar segera dibentuk RUU Migas yang gagasan pokoknya yakni mereduksi monopoli Pertamina dengan memecahkan industri pertamina yang semula terintegrasi  dari hulu ke hilir dan meliberalisasi sektor migas dengan membuka selebar-lebarnya ladang investasi bagi perusahaan swasta.

Pemerintah pun membuat rancangan UU Migas dengan dalih bahwa dengan adanya monopoli Pertamina, akan terjadi inefisiensi, rentan korupsi. Pertamina juga posisinya dijadikan sejajar  dengan kontraktor lain dan dibentuk institusi nonbisnis yakni Badan Pelaksana Migas yang mengendalikan kegiatan usaha hulu di bidang Migas. Menurut pemerintah, dengan begitu akan terjadi persaingan sehat  yang akan memacu Pertamina agar menjadi perusahaan yang lebih maju. Namun, bahayanya RUU ini adalah tidak adanya jaminan keamanan pemenuhan kebutuhan migas dalam negeri. Para kontraktor biasanya lebih memilih untuk menjual migas ke luar negeri. RUU pun di bahas bersama dengan DPR  dan diwarnai oleh berbagai kritikan. Namun, DPR gagal mementahkan RUU yang dibuat pemerintah, RUU Migas pun disahkan menjadi UU pada Oktober 2001.


Masa Depan Industri

Karena kontrol cadangan dan produksi minyak tidak  berada di tangan negara, maka pemerintah tidak dapat menjamin keamanan pasokan migas. Krisis migas pun tidak mustahil untuk terjadi, industri  pupuk, semen,  kertas, dsb pun terancam bangkrut atau tidak berproduksi secara optimum karena banyaknya gas yang malah diekspor ke luar negeri seperti China dan Jepang dengan harga yang  jauh dibawah harga pasaran dunia.



UU Migas tidak Investor Friendly

UU Migas di sisi lain dianggap tidak investor friendly. Hal ini disebabkan adanya berbagai jenis pungutan sebelum eksplorasi,retribusi,dan pajak  yang memberatkan  investorkarena proses birokrasi yang berbelit-belit. Kurang lebih jalurnya sebagai berikut: investor–Ditjen Migas–BP–Migas–Bea Cukai–Pemda–Pemboran sumur. Saat UU No. 8 tahun 1971 proses birokrasinya seperti ini: investor–Pertamina–Pemboran sumur. Alhasil sedikit investor yang bersedia menanam modal di RI.Ini membuat produksi migas sulit ditingkatkan ditengah angka konsumsi migas yang semakin tinggi.

Kebijakan dan Relasi Korporat

Jika ada orang berkata bahwa kepentingan bisnis dan politik itu amat dekat,  itu benar, terutama dalam industri migas. Bahkan beberapa kali kita menyaksikan perang demi  penguasaan black gold. Amati sejarah Iran, dimana saat itu Iran dipimpin oleh seorang nasionalis bernama Mossadeq yang berniat menasionalisasi AIOC (sekarang Beyond Petroleum-Inggris).Maka inggris membawa isu ke AS bahwa Mossadeq akan membawa Iran dekat dengan komunisme , maka disusunlah sebuah makar yang melibatkan Shah Reza Pahlevi dan militer, yang pada akhirnya membawa Reza Pahlevi, pemimpin yang  sangat pro-Barat ke tampuk kekuasaan. BP pun dapat langgeng bercokol di Iran. Atau kita lihat di negeri kita sendiri, pada masa kolonial di akhir abad 19, semula pemerintah kolonial melarang perusahaan pertambangan partikelir untuk beroperasi di Hindia-Belanda namun karena desakan saudara  Raja William II  ,seorang pengusaha,untuk  membuka lahan investasi, akhirnya Raja mengeluarkan dekrit yang memperbolehkan partikelir beroperasi.
Demikian pula dengan UU Migas , UU tersebut ruhnya dibentuk oleh IMF, yang disokong oleh perusahaan-perusahaan minyak yang besar kepentingan asing. Jelas ini tertuang dalam Letter of Intent Indonesia dengan IMF maka jangan heran jika perusahaan migas asing makin bercokol di Tanah Air (meslipun tidak investor friendly karena ribet dan banyak pungutan). Bukankah investasi  yang sarat resiko biasanya hanya mampu dilakukan perusahaan besar?
Menyamakan kedudukan perusahaan negara dengan perusahaan asing akan mendorong persaingan.  Secara teoritis memberikan kesempatan sama kepada setiap orang untuk berkompetisi dan memperbaiki diri. Ini logika kapitalisme. Namun, kenyataaannya setiap orang/badan usaha berangkat dari titik yang berbeda. Sebagai contoh, seorang pengusaha besar menjual produknya dengan harga yang lebih rendah dari harga pokoknya. Dia merugi awalnya. Akan tetapi, kerugiannya ditopang dengan modalnya yang sudah menumpuk. Harga ini membuat pesaingnya –yang modalnya kurang kuat- rugi dan bangkrut. Setelah pesaingnya bangkrut ia akan memimpin pasar dan menaikan harga jual lebih tinggi.

Penutup

Kini dapat kita lihat  Blok Cepu dikuasai Exxon hingga 2036, Blok Natuna dikuasai Exxon, sedangkan LNG Tangguh di Teluk Bintuni menempatkan BP sebagai operator utama, selama ini perusahaan negara yang dalam hal ini Pertamina terlihat kalah bersaing di rumah sendiri dari perusahaan-perusahaan minyak dari luar. Revisi UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menjadi kian agenda mendesak. Pasalnya dengan revisi ini diharapkan perusahaan minyak negara akan mendapatkan banyak prioritas dari pemerintah dan mengembalikan kedaulatan migas negara ( rakyat).


Fajar Cipta Yudha Perkasa
Deputi Energi
Kementerian Kebijakan Nasional
Kabinet KM-ITB 2012/2013

Share |

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites