Sunday, October 7, 2012

Petisi: Blok Mahakam untuk Rakyat


Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia dengan rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Cadangan blok ini sekitar 27 triliun cubic feet (tcf). Sejak 1970 hingga 2011, sekitar 50% (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar US$ 100 miliar. Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus naik, blok Mahakam berpotensi pendapatan kotor US$ 187 miliar (12,5 x 1012  x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp 1700 triliun.

Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam ditandatangani oleh pemerintah dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) pada 31 Maret 1967, beberapa minggu setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2. Kontrak berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997. Namun beberapa bulan sebelum Soeharto lengser, kontrak Mahakam telah diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017.
> Karena besarnya cadangan tersisa, pihak asing telah kembali mengajukan perpanjangan kontrak. Disamping permintaan oleh manajemen Total, PM Prancis Francois Fillon pun telah meminta perpanjangan kontrak Mahakam saat berkunjung ke Jakarta Juli 2011. Disamping itu  Menteri Perdagangan Luar Negeri Pran cis Ni cole Bricq kembali meminta perpanjangan kontrak saat kunjungan Jero Wacik di Paris, 23 Juli 2012. Hal yang sama disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012 Padahal sesuai UU Migas No.22/2001, jika kontrak migas berakhir, pengelolaan seharusnya diserahkan kepada BUMN. Apalagi hal ini sesuai amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional. Pertamina pun telah menyatakan keinginan dan kesanggupan mengelola blok Mahakam berkali-kali sejak 2008 hingga sekarang.  Namun, menyimak pernyataan sejumlah pejabat pemerintah, besar kemungkinan Pertamina akan gagal. Kepala BP Migas R.Priyono misalnya mengatakan mendukung Total untuk tetap menjadi operator (7/2012). Wamen ESDM Profesor Rudi Rubiandini meminta agar Pertamina tidak perlu bernafsu menjadi operator blok Mahakam, karena Pertamina tidak akan sanggup secara SDM, teknologi dan finansial, akibat besar dan sulitnya ladang Mahakam (13/9/2012).

Tampaknya Ironi blok Cepu yang diserahkan pada Exxon (2006) akan terulang pada blok Mahakam. Akibatnya, BUMN akan kembali menjadi pecundang: dikalahkan oleh Pemerintah di negara sendiri, dan rakyat dirugikan! Oleh sebab itu, untuk menjamin dominasi BUMN dan mencegah kerugian rakyat, IRESS menggalang gerakan advokasi ini dengan menyiapkan “Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat”. Seluruh komponen bangsa dihimbau untuk bergabung menjadi peserta/petitor dalam gerakan untuk menyuarakan tuntutan ini kepada Pemerintah dan DPR.

Tuntutan
Untuk mencapai kemandirian dan ketahanan energi nasional dan sesuai dengan amanat konstitusi, maka pengelolaan blok Mahakam harus diserahkan kepada Pertamina. Namun tampaknya Menteri ESDM, Wamen ESDM dan Kepala BP Migas cenderung untuk kembali memperpanjang kontrak kepada asing. Terlepas apakah sikap ketiga pejabat ini sepengetahuan dan telah direstui Presiden SBY atau tidak, niat buruk ketiganya harus segera dihentikan. Pemerintah diminta untuktidak bersandiwara dengan mengatakan mendukung BUMN, namun sebenarnya memihak asing. Memperlambat penetapan keputusan patut pula diduga sebagai upaya untuk menyingkirkan Pertamina. Oleh sebab itu pemerintah (dan DPR) dituntut untuk:
1.     Memutuskan status kontrak blok Mahakam melalui penerbitan PP atau Kepmen secara terbuka paling lambat 31 Desember 2012;
2.     Menunjuk dan mendukung penuh Pertamina sebagai operator blok Mahakam sejak April 2017;
3.     Mengabaikan dan menolak berbagai upaya dan tekanan pihak asing, termasuk tawaran kerjasama ekonomi, beasiswa dan komitmen investasi migas guna memperoleh perpanjangan kontrak;
4.     Manjamin pemilikan 10% saham blok Mahakam oleh BUMD (Pemprov Kaltim & Pemkab Kutai Kartanegara) yang pelaksanaannya dikordinasikan dan dijamin oleh Pusat bersama Pertamina, tanpa partisipasi atau kerjasama dengan swasta;
5.     Meminta kepada Total dan Inpex untuk memberikan 20-25% saham blok Mahakam kepada Pertamina sejak 2013 hingga 2017, dengan kompensasi (bagi Total dan Inpex) pemilikan 20-25% saham blok Mahakam sejak 2017 hingga 2037;
6.     Membebaskan keputusan kontrak Blok Mahakam dari perburuan rente dan upaya meraih dukungan politik dan logistik, guna memenangkan Pemilu/Pilpres 2014, seperti terjadi pada tambang Freeport atau Blok Cepu;
7.     Membebaskan pemerintah dari pejabat-pejabat dan kaki-tangan asing yang telah memanipulasi informasi, melakukan kebohongan publik, melecehkan kemampuan SDM dan perusahaan negara dan merendahkan martabat bangsa.

Setiap upaya yang dilakukan untuk membatasi dan menghilangkan hak Pertamina merupakan penghianatan terhadap konstitusi, melecehkan hak rakyat dan mengabaikan tuntutan reformasi berupa pemerintahan yang bebas KKN. Segenap komponen bangsa dan seluruh rakyat Indonesia diminta untuk mendukung dan bergabung dalam gerakan ini guna tercapainya seluruh tuntutan dalam petisi.

Jakarta 10 Oktober 2012

Penandatangan Petisi:

Chandra Tirta Wijaya, Marwan Batubara, Prof. Sri-Edi Swasono, Kwik Kian Gie, Dr Kurtubi, Hatta Taliwang, Suripto, Dr. Hendri Saparini, Prof. Dr Mochtar Pabottingi, Prof. Dr Mukhtasor, Pri Agung Rakhmanto, Dr Anis Baswedan, Dr Iman Sugema, Dr Revrisond Baswir, Dr Fadil Hasan, Dr Erwin Ramedan, Effendi Khoiri, Lily Wahid, Nurmawati Bantilan, Adhie Massardi, Dr Irman Putra Sidin, Dr M. Said Didu, Faisal Yusro, Agus Pambagio, Akhmad Khaqim, Dr Syaiful Bahri, Prof Dr M.Asdar, MJ.Muliahati, Siti Maimunah, Salamuddin Daeng, Dani Setiawan, Riza Damanik, Fabby Tumewa, Wilman Ramdhani, Edy Mulyadi, Abdullah Shodik, Anjar Dimara Sakti, Sugeng Wiyono, dll.
Share |

Resolusi Pekerja Migas Indonesia


Pekerja minyak dan gas bumi (migas) Indonesia di seluruh unit operasi/produksi sebagai industri strategis melalui perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) nasional dan perusahaan asing yang padat modal dan berisiko sangat tinggi, baik lapangan offshore maupun onshore, sangat menyadari kontribusinya yang begitu besar bagi perekonomian Indonesia.
Dalam perjalanan panjang kiprah anak bangsa di perusahaan migas, Pekerja masih mengalami perlakuan yang diskriminatif, lingkungan kerja yang tidak kondusif dan berpotensi tereskalasi menjadi masalah sosial yang destruktif sehingga diharapkan Pemerintah segera hadir menyelesaikan permasalahan hubungan industrial yang terjadi selama ini.
Oleh karena itu, Pekerja migas dalam organisasi Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) menyampaikan RESOLUSI sebagai berikut:
1.    Dalam rangka menjalankan amanat konstitusi yang menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia termasuk Pekerja di lingkungan migas, Pemerintah wajib MEMBATALKAN KONTRAK KERJA SAMA bagi kontraktor/perusahaan migas yang tidak menjalankan prinsip hubungan industrial yang harmonis seperti ketidakmampuan Direksi KKKS dalam menyelesaikan perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan Serikat Pekerja, pelanggaran yang masif terhadap kesepakatan yang telah diatur dalam PKB, perilaku union busting yang dilakukan oleh manajemen puncak di beberapa perusahaan migas/KKKS.
2.    Pemerintah wajib MENGHAPUS SELURUH PERIKATAN PEKERJA DALAM BENTUK OUTSOURCING di lingkungan migas sebagai industri strategis dan berisiko tinggi dalam rangka menumbuhkan harga diri anak bangsa yang terus diperlakukan diskriminatif dalam waktu yang terlalu lama, serta sebagai bentuk perlindungan bagi rakyat Indonesia yang nyata sebagaimana yang diamanatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
3.    Pemerintah sudah saatnya menggunakan haknya sesuai konstitusi untuk memaksa seluruh KKKS untuk TIDAK MEMBERIKAN KESEMPATAN KEPADA TENAGA KERJA ASING dalam mengelola bagian-bagian kegiatan manajemen dan operational migas yang secara nyata telah berhasil di alih-kelola oleh anak bangsa dalam rangka mendorong kemandirian Indonesia.
4.    Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan pemberian upah oleh Pekerja Indonesia oleh Perusahan migas/KKKS secara adil dan non-diskriminatif dengan menetapkan skala upah tidak lebih dari 40 antara manajemen puncak/Direksi dan pekerja level paling rendah tanpa melihat jenis perikatan kerjanya.
Demikian RESOLUSI ini diperbuat untuk menjadi perhatian Pemerintah dan pemangku kepentingan industri migas Indonesia sehingga suasana yang kondusif di seluruh unit operasi/produksi dapat dibentuk dalam rangka menjamin keberlangsungan proses produksi yang mampu mendukung perekonomian Indonesia.
Jakarta, 01 Mei 2012
Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI)
Share |

Dianggap Produk IMF, UU Migas Batalin Aja Deh…

Terjadi Tarik Menarik Kepentingan Antar Pemain Bisnis Minyak Tarik menarik kepentingan di balik pengujian Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas (Migas) No. 22 Tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK) makin ketat. Khususnya pasal terkait usaha hulu migas, mengerucut pada tarik ulur dua kutub.

Kutub pertama berpendapat bahwa UU Migas harus diganti dan dikembalikan ke pola lama, yaitu sama dengan UU No. 8 Tahun 1971. Sedangkan kutub kedua mengarah pada upaya pemberdayaan BP Migas yang lebih optimal.

Federasi Serikat Pekerja Pertamiab Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) siap menjelaskan alasan di balik permohonan uji materi UU Migas yang dianggap pro kepentingan asing. Presiden FSPPB Ugan Gandar mengatakan, ada beberapa Pasal UU Migas yang bertentangan dengan UUD 1945.

“UU Migas bertentangan dengan UUD 1945; menilai Pasal 12 dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” imnbuh salah satu kuasa hukum pemohon Benidikty Sinaga.

Presiden KSPMI Faisal Yusra menambahkan, UU Migas secara filosofis, substansi dan materi telah melenceng jauh dari amanat yang dikandung dalam Pasal 33 UUD 1945 karena tidak menegaskan bahwa kepemilikan produksi Migas secara keseluruhan berada pada Negara.

“Pengelolaan Migas dalam konteks kedaulatan dan kemandirian Migas nasional seharusnya hanya diusahakan oleh Negara dan pelaksanaannya ditugaskan dan dikuasakan kepada Badan Usaha Milik Negara (Pertamina),” tegasnya.

Dikatakan, Letter of Intens (LoI) Pemerintah Republik Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) dijadikan dasar pembuatan Undang-undang Migas.

“Tetapi kenyataannya UU MIgas malah membelenggu dan membonsai bisnis Pertamina sebagai perusahaan Negara, di saat perusahaan migas dunia justru semakin terintegrasi sektor hulu dan hilirnya,” ucapnya.

Menurut Faisal dalam UU Migas kedudukan Pertamina dianggap sama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) lain dan tidak terlihat sebagai perusahaan migas milik Negara sebagaimana umumnya di Negara lain yang diberi kewenangan untuk mengelola wilayah kerja pertambangan di negaranya dan mempunyai kekuatan terhadap pengendalian bisnis dan ekonomi Migas.
Share |

DPR Minta Tidak Ada Tender BBM Bersubsidi

Pemerintah diminta segera membatalkan proses tender penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 2013 sebesar 46 juta kiloliter (kl).
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Dito Ganinduto mengatakan, pendistribusian BBM bersubsidi menggunakan uang negara, sehingga tidak sepantasnya diserahkan ke pihak swasta, apalagi asing. Selayaknya, pendistribusian BBM bersubsidi yang merupakan pelayanan publik (public service obligation/PSO) dilakukan pemerintah melalui badan usaha milik negara (BUMN) bidang energi, yakni PT Pertamina (Persero).
"Kalau sampai asing ikut mendistribusikan BBM bersubsidi, maka sama saja dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi kita. Apalagi ini terkait dengan uang negara," kata Dito Ganinduto di Jakarta, Senin (1/10).
Untuk itu, menurut Dito, DPR akan memanggil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik untuk membatalkan proses tender BBM bersubsidi tersebut.
Seperti diketahui, saat ini, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tengah menyelenggarakan tender penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi untuk 2013. Tercatat sebanyak empat perusahaan yang berminat yakni PT Pertamina (Persero), PT Shell Indonesia, PT Aneka Kimia Raya Corporindo Tbk (AKR), dan PT Surya Parna Niaga (SPN).
Dito juga mengatakan, urusan penyaluran subsidi seharusnya dikerjakan BUMN. Untuk itu, pemerintah menjadikan BUMN, seperti PT Pertamina (Persero), sebagai satu-satunya perusahaan yang menyediakan dan mendistribusikan BBM bersubsidi di seluruh pelosok negeri.
"Meski soal tender ada aturannya, namun pemerintah semestinya tidak serta merta memberikan alokasi untuk idstribusi BBM bersubsidi ke perusahaan selain Pertamina. Apalagi swasta asing," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah bisa mencontoh Malaysia atau Singapura yang mensyaratkan pembangunan kilang jika ingin mendistribusikan BBM. Jadi tidak dibuka seperti saat ini. "Siapapun bisa membangun SPBU. Ini liberalisasi yang kebablasan," tuturnya.
Di lain pihak, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria juga menilai, pemerintah sebaiknya menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana tunggal dalam penyediaan serta pendistribusian BBM bersubsidi. Penunjukan badan usaha lain, apalagi swasta asing, sebagai pelaksana penyediaan dan penyaluran BBM bersubsidi tidak memberikan nilai tambah bagi pemerintah. Bahkan, di mata publik, proses penetapan yang dilakukan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) ini hanya seperti "bagi-bagi kue" dalam bisnis BBM bersubsidi.
"Ditetapkannya beberapa perusahaan pelaksana pengadaan dan penyaluran BBM bersubsidi, termasuk swasta nasional dan asing, hanya memperpanjang rantai koordinasi dengan BPH Migas dalam melakukan pengawasan," katanya.
Menurut dia, penunjukan hanya satu badan usaha, apalagi BUMN seperti Pertamina pada dasarnya tidak melanggar hukum. Ini dikarenakan penunjukan langsung ini berkaitan dengan BBM yang disubsidi pemerintah. Lain halnya jika yang akan didistribusikan adalah BBM nonsubsidi. Memang berpotensi melanggar Undang-Undang (UU) Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Apalagi penetapan selain Pertamina untuk menangani BBM bersubsidi, pada dasarnya menjadikan biaya distribusi BBM tidak efisien. "Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah," tutur Sofyano.
Hal senada juga disampaikan pengamat energi dari Indonesian Resourses Studies (Ires) Marwan Batubara. Dia meminta pemerintah membatalkan proses tender BBM bersubsidi yang kini tengah dilakukan BPH Migas.
"Untuk urusan BBM bersubsidi, tidak layak diserahkan ke swasta, apalagi asing. Serahkan saja ke BUMN, yakni Pertamina, yang 100 persen sahamnya dimiliki negara. Selama ini pelaksanaan tender yang sudah berjalan 3-4 tahun belakangan cenderung dipaksakan. Jadi, kenapa tidak sekalian ditiadakan saja," katanya.
Pemerintah berkomitmen untuk memperbaiki penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan merestrukturisasi pihak-pihak penerima karena selama ini dinilai tidak tepat.
Pengguna dari masyarakat golongan tidak mampu dan transportasi umum tetap menjadi prioritas yang harus memperoleh manfaat dari subsidi untuk BBM. Hingga saat ini, meski mencapai ratusan triliun rupiah, pemerintah tidak bisa menghapus subsidi untuk BBM karena dibutuhkan masyarakat.
Meski demikian, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengakui struktur pemberian subsidi untuk BBM masih kurang baik. Untuk itu, pemerintah akan merestrukturisasi penerimanya.
"Jadi, nantinya yang boleh menikmati subsidi hanya yang berhak, misalnya untuk transportasi umum maupun masyarakat yang tidak mampu. Saya tetap beranggapan rakyat harus diberi subsidi BBM. Idealnya pemberian subsidi dilakukan secara langsung untuk masyarakat yang tidak mampu. Namun pemerintah masih memerlukan waktu," tutur Hatta.
Dia menjelaskan, perbedaan harga (disparitas) antara BBM bersubsidi dengan nonsubsidi cukup tinggi. Jika tidak diawasi dengan ketat, maka bakal memicu tindakan penyimpangan dan penyelundupan.
Share |

KSPMI Minta Pemerintah Serahkan Pengelolaan BBM PSO ke Pertamina


PRESIDEN Könfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra menegaskan, untuk memperjuangkan kedaulatan energi nasional, maka pemerintah harus menyerahkan pengelolaan bahan Bakar Minyak (BBM) PSO secara penuh kepada Pertamina.


Untuk itu, KSPMI meminta Pertamina agar tidak memasukkan penawaran PSO bila disandingkan dengan 40 kompetitor pemburu rente. "Memangnya siapa yang sanggup menanggung cost of money penyediaan stok nasional operasional 20 hari? Itu nilainya lebih Rp 30 triliun yang ditanggung Pertamina," katanya dalam pesan singkatnya kepada SENTANA di Jakarta, Senin (01/10).

Dia menyatakan, selama ini pihak asing hanya menjadi partner Pertamina, bukan sebagai pemilik atau operator strategis migas indonesia. "Bangsa ini harus sadar nasionalisasi migas menjadi patut untuk diperjuangkan," tandasnya lagi.

Faisal juga menyesalkan pandangan Dirjen Migas Evita Legowo dalam sidang Judicial Review UU Migas di Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sektor hilir migas adalah bisnis bukan strategis. "Kedaulatan migas Indonesia akan hilang dan menjadi bencana di masa mendatang yang pada gilirannya akan menghancurkan ketahanan energi Indonesia," cetus dia.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR Bobby Aditya Rizaldi sepenuhnya mendukung agar proses tender BBM bersubsidi oleh BPH Migas itu ditinjau ulang. "Karena itu PSO yang disubsidi, dan kenapa margin keuntungannya tidak diberikan ke Pertamina? Memang perlu dikaji oleh pemerintah sehingga tidak melanggar UU persaingan usaha, tapi mengingat BBM PSO ini adalah barang strategis, hendaknya didistribusikan penuh oleh pemerintah via Pertamina," ujarnya kemarin.

Bobby menyebutkan, bila memang ada perusahaan selain Pertamina yang mampu mendistribusikan BBM PSO dengan harga lebih murah, itu baru namanya lebih efisien. "Kalo perlu semuanya diserahkan ke perusahaan tersebut. Tetapi kan tender distribusi BBM PSO ini dari segi biaya sama saja, jadi tidak ada nilai tambah, hanya bagi-bagi fee dan margin saja," demikian menurut Bobby Aditya Rizaldi.

Sebelumnya Direktur Pusat Studi Kebijaka Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria juga menyampaikan hal yang sama. “Pemerintah dan BPH Migas sebaiknya menunjuk pelaksana tunggal untuk melaksanakan tugas PSO BBM yakni Pertamina. Sebab penunjukan badan usaha lain sebagai pelaksana BBM subsidi tidak memberi nilai tambah bagi pemerintah bahkan oleh publik akan dimaklumi sebagai "bagi-bagi" kue PSO BBM saja,” katanya Minggu.

Menurut dia, dengan adanya beberapa pelaksana PSO BBM akan memperpanjang rantai koordinasi BPH Migas dalam melakukan pengawasan terhadap bbm bersubsidi di negeri ini. "Pada dasarnya, menunjuk satu badan usaha apalagi badan usaha tersebut adalah BUMN tidaklah melanggar hukum, karena penunjukan ini terkait BBM yang disubsidi oleh pemerintah. Lain halnya jika yang akan didistribusikan adalah BBM non subsidi, ini berpotensi melanggar UU anti monopoli," tutur Sofyano.

Ia menegaskan, adanya badan usaha lain yang ditunjuk melaksanakan tugas PSO BBM selain Pertamina kenyataannya belum mampu memperkecil atau menekan penyelewengan BBM bersubsidi. "Jadi sebaiknya tender BBM PSO dihapus saja dan pemerintah langsung menugaskan Pertamina sebagai pelaksana tunggal dengan menetapkan fee berdasarkan ketentuan pemerintah," imbuhnya.

Sofyano menambahkan, pada dasarnya tender BBM PSO juga tidak menjadikan biaya distribusi menjadi murah. "Seharusnya hal ini menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah untuk mengganti tender dengan penunjukan langsung kepada Pertamina," tukasnya. (SL)
Share |

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites