Friday, September 28, 2012

Iklan UU Migas yang Menyesatkan


Pertengahan September lalu, sejumlah tokoh nasional melapor ke dewan pers terkait dimuatnya iklan UU Migas kompas edisi 9 dan 27 Agustus 2012. Iklan ini dinilai sejumlah pihak menyesatkan opini publik. Ini terkait dengan sidang UU migas yang kini banyak digugat ke MK. Iklan seluas setengah halaman koran tersebut tak mencantumkan penulis/ lembaga . Namun, siapa pun yang memasang iklan tersebut, ia pasti memiliki modal yang besar. Muncul dugaan kuat bahwa pemasang iklan adalah pemerintah atau BP migas. Setelah membaca berita terkait pengaduan tokoh-tokoh nasional tersebut, saya mencari-cari koran kompas edisi 9 dan 27 Agustus.  Alhamdulillah, akhirnya saya temukan juga kedua iklan tersebut. Berkut ini hasil poin-poin penting berikut tanggapan atas isinya, mudah-mudahan tidak terlalu terlambat.


Iklan UU migas tanggal 27 Agustus 2012 disebutkan bahwa: Undang-undang no. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu buah hasil perjuangan refomasi tahun 1998 untuk mendorong akuntabilitas , tata kelola industri, dan manajemen pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik serta mendukung anti korupsi.


Telah dipaparkan dalam Opini Energi V bahwa UU Migas, alih-alih merupakan hasil perjuangan reformasi untuk industri hulu migas yang lebih baik, lebih mencerminkan hasil tekanan IMF dan USAID sebagai syarat pinjaman pemerintah RI pasca krisis moneter 1998. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam UU Migas adalah : mencabut kuasa pertambangan dari Pertamina, menyamakan status Pertamina dengan Perusahaan minyak asing, memecah Pertamina atas usaha hulu dan hilir (unbundling) agar sektor migas lebih mudah di privatisasi, menerapkan harga pasar untuk BBM, menghilangkan subsidi BBM, membuka sektor hilir bagi perusahaan asing,  membentuk lembaga baru BP Migas dan BPH Migas. Dokumen lengkap persyaratan yang diajukan IMF dapat dilihat langsung di : http://ww.imf.org/external/np/loi/2000/id/01/index.htm

Dalam dokumen resmi USAID pun, mereka mengakui bahwa mereka turut merumuskan  UU ini : “ USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for the oil and gas legislation.”

UU migas memecah industri migas ke dalam usaha hulu dan hilir, ini berbeda dengan UU sebelumnya yang mengintegrasikan secara vertikal aspek hulu dan hilir ( vertically integrated). Padahal denganvertically integrated, sebuah perusahaan akan lebih efisien. Logikanya sederhananya begini, jika kita memiliki perusahaan yang terintegrasi dari hulu ke hilir, dari penyediaan bahan baku hingga penjualan, rantai supply bisa terjaga dan biaya pihak ketiga bisa ditekan. Hal demikian pula berlaku pada sektor migas. Biaya yang ditanggung konsumen akan lebih rendah jika vertically integrated. Selain itu, jika dilakukan unbundling, hal yang dapat terjadi adalah sebagai berikut : Jika harga minyak mentah dunia naik, maka perusahaan yang ada di sektor hulu akan mendapat keuntungan besar.Akan tetapi, bagaimana di sektor hilir seperti di unit pengilangan misalnya? Jelas keuntungan mereka akan berkurang karena mereka harus mendapatkan bahan baku dengan harga mahal, tetapi harga barang harus sampai di tangan konsumen dengan harga tetap. Dapat terjadi pula sebalikanya jika harga minyak dunia turun, sektor hulu menikmati keuntungan sedikit, tetapi sektor hilir mendapat keuntungan yang melimpah. Ini semua dapat terjadi jika dilakukan unbundling, pemisahan usaha di hulu dengan di hilir. Agar terjadi keseimbangan, maka sebaikanya hulu dan hilir terintegrasi.

Liberalisasi di sektor hilir pun memberikan angin segar bagi perusahaan-perusahaan asing. Tentu saja karena kesempatan untuk merambah ke sektor yang resikonya relatif lebih rendah daripada sektor hulu itu pun terbuka lebar. Ini dikuatkan dengan rencana untuk menyerahkan harga BBM ke pasar. SPBU asinglah pihak pertama yang akan bersorak-sorai jika hal ini terjadi.

Jelas sekali bahwa ketimbang merupakan representasi dari semangat reformasi, UU migas lebih terlihat sebagai hasil dikte kekuatan asing atas perekonomian Indonesia.

***


Dalam iklan 9 Agustus, dikutip kata-kata Bung Hatta:
” Untuk membangun negara kita, kita tidak mempunyai kapital karena itu kita pakai kapital asing untuk kepentingan kita. Kita anti kapitalisme tetapi tidak antikapital. Kita juga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing karena memang kekurangan tenaga ahli.  Mereka itu kita bayar menurut ukuran pembayaran internasional yang memang tinggi jika dibandingkan dengan pembayaran kepada tenaga –tenaga ahli kita. Hal itu jangan diirikan karena mereka itu tidak mempunyai kewajiban terhadap negara kita, sedang kita mempunyai kewajiban terhadap negara dan bangsa.”


Seperti kita ketahui sekitar 74% migas di Bumi Indonesia dikelola oleh perusahaan asing. Pernyataan tersebut dijadikan pembenaran oleh pembuat iklan kaleng untuk permisif terhadap kuasai perusahaan asing di sektor-sektor strategis seperti migas. Jika baca pemikiran-pemikiran ekonomi Hatta, terutama esai-esainya di harian Daulat Rakjat, tampak jelas bahwa beliau begitu membenci kapitalisme dan dominasi modal swasta yang pada akhirnya melahirkan imperialisme. Hatta memang tak anti terhadap modal asing, tetapi pada iklan kaleng tersebut, nyata-nyata pendapat Hatta dipelintir sebagai legitimasi kuasa asing di sektor migas. Menurut Hatta, modal atau bantuan dari luar negeri kepada negara berkembang harus mendorong timbulnya aktivitas ekonomi sendiri. Perekonomian harus dijalankan dengan cita-cita self-help dan self-reliance. Modal atau bantuan tersebut harus melancarkan ekonomi negara berkembang sampai pada suatu tingkat di mana ia seterusnya dapat bergerak sendiri atas kekuatan sendiri (Swasono, 1992). Production Sharing Contract (PSC) yang melibatkan kontraktor asing pun dulu digagas Soekarno agar terjadi penumpukan kapital dan penguasaan teknologi sehingga suatu saat pengelolaan sepenuhnya dapat dilakukan oleh perusahaan negara.

Terkadang ada juga sekelompok orang yang bertanya mengapa perlu mandiri? Bukankah tidak masalah diserahkan ke asing jika itu lebih efisien, asalkan mampu menyejahterakan rakyat? Pada zaman dahulu para pejuang negeri ini berjuang untuk mencapai kemerdekaan, padahal mungkin mereka tahu bahwa perekonomian awal kemerdekaan belum tentu akan lebih baik daripada zaman penjajahan. Padahal di zaman dulu, pemerintahan kolonial banyak membangun infrastruktur, kebun, ataupun industri yang menyerap tenaga kerja. Namun, kaum intelektual pribumi yang sebetulnya memiliki kesempatan emas berkarir di kantor pemerintah maupun di industri, memilih meninggalkan zona nyamannya untuk berjuang mencapai kemerdekaan. Secara naluriah manusia selain menginginkan kesejahteraan juga menginginkan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, ia tak suka dikekang. Dominasi asing akan menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada pihak lain yang menyebabkan masyarakat tersebut kesulitan menentukan masa depannya.  Bayangkan, bagaimana mungkin cita-cita nasional untuk menjaga keamanan dan ketertiban dunia bisa dijalankan jika dalam hal ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada para kapitalis asing.

Bayangkan betapa sedihnya founding fathers jika mereka melihat hingga kini masih begitu bergantungnya kita pada kuasa modal asing. Pada akhir dekade 1970-an pun Bung Hatta sudah mengungkapkan keprihatinannya pada Mochtar Lubis, “…betapa lemahnya kita sekarang melindungi perdagangan dalam negeri kita yang seharusnya berada dalam tangan Indonesia sendiri.” Andaikata masih hidup, Bung Hatta pasti makin sedih dan prihatin karena kata-katanya dijadikan pembenaran dominasi asing oleh pemerintah bermental inlander.

( Kata-kata Bung Hatta dalam iklan juga dikutip oleh saksi ahli pemerintah saat sidang JR 1 Agustus lalu, kebetulan saat itu saya hadir di MK. Ini menguatkan dugaan bahwa yang memasang iklan tersebut adalah pemerintah/BP Migas)

***
Iklan kompas 27 Agustus berjudul : NEGARA BERDAULAT PENUH ATAS SUMBER DAYA MIGAS. Pada iklan  tersebut, disebutkan pasal 4 ayat 1, 2, dan 3 jadi dasarnya bahwa kedaulatan masih di tangan negara. Selain itu, iklan tersebut menyebutkan bahwa kekayaan alam migas Indonesia tetap terjamin milik Pemerintah meskipun keberadaan fisiknya  bisa tidak di wilayah hukum Indonesia. Iklan tersebut memberikan contoh bahwa jika LNG Indonesia dikirimkan kepada pembeli di luar negeri, saat sewaktu-waktu dibutuhkan untuk pasokan domestik, selama belum sampai titik penyerahan, dapat diminta kembali oleh Indonesia.

Makna penguasaan oleh negara dalam pasal 4 ayat 1 dan Kuasa Pertambangan pada ayat 2 sebenarnya menjadi rancu ketika pemerintah menyerahkan Kuasa Pertambangannya itu kepada Badan Pelaksana (BP Migas). BP migas mewakili pemerintah untuk berkontrak dengan perusahaan. Jadi pola perjanjian yang terjadi adalah B to G, bukan B to B.  Pemerintah dalam hal ini merendahkan kedudukannya menjadi setara dengan perusahaan asing. Apa dampaknya? Dampaknya jika suatu saat terjadi perselisihan dalam kerjasama, negara dapat diseret ke arbitrase internasional. Hal ini juga memungkinkan disitanya aset negara yang ada di luar negeri misalnya pesawat, kantor kedutaan,dll.

Ada pula yang menganggap bahwa kontrak yang terjadi berpola BP migas to B. Artinya, BP migas tak bisa disamakan dengan pemerintah atau negara. Pertanyaannya lalu BP migas apa? Apakah mungkin perusahaan asing internasional mau berkontrak dengan BP migas sebagai badan hukum dan tak ada  jaminan? Tentu tak akan mau. Kita tahu bahwa BP migas tak memiliki aset sebagaimana perusahaan migas. Kantor mereka saja kini masih menyewa di Gedung Wisma Mulia. Perusahaan asing mau berkontrak dengan BP migas karena dibelakang BP Migas ada pemerintah sehingga ada jaminan aset-aset, termasuk  economics right migas.

Dalam mekanisme B to G, sewaktu-waktu pemerintah merasa dirugikan dan hendak mengubah perkanjian, perlu mendapat persetujuan pihak kontraktor. Itu disebabkan keduduka bahwa pemerintah yang sejajar dengan kontraktor. Contoh pola serupa adalah tambang freeport. Pemerintah begitu sulitnya melakukan renegosiasi untuk menaikan royalti dari 1% menjadi 3,75%.

Di sektor migas, jelas sekali kontrak LNG (Liquified Natural Gas) Tangguh antara pemerintah dan BP (British Petroleum) , yang berarti berpola B to G, begitu merugikan negara. Blok Tangguh yang dikelola BP menjual gas hanya dengan harga US$3,35 per mmbtu (million british thermal unit) ke Fujian Cina , sementara di saat yang sama harga jual gas ke dalam negeri US$7 per mmbtu. Penjualan LNG Tangguh ini juga jauh di bwah harga LNG Badak di Kaltim yang di ekspor ke seharga US$ 20 per mmbtu ( Lapangan ini dikembangkan dengan UU Pertamina). Negara dirugikan puluhan trilyun per tahun dengan penjualan murah LNG Tangguh ke Cina. Di saat yang sama banyak industri dalam negeri yang membutuhkan gas seperti industri pupuk, semen, dan kertas.  Jelas statement  iklan yang menyatakan bahwa pengapalan LNG dapat dibatalkan dan disuruk balik ke RI jika perlu pasokan domestik terbantahkan.

Posisi BP migas sebagai badan hukum pun tidak memungkinkan BP migas menjual langsung bagian gas milik negara. Dalam hal ini, BP migas harus menunjuk pihak ketiga, dan sayangnya pihak ketiga yang ditunjuk tak selalu Pertamina. Untuk kasus LNG Tangguh ini, BP Migas justru menunjuk BP (British Petroleum) untuk menjual gas bagian negara.

Pola B to G yang dijalankan sekarang dengan UU migas menyulitkan renegosiasi pemerintah dengan perusahaan asing. Posisi yang setara menyebabkan perubahan kerjasama perlu mendapat persetujuan dari pihak asing. Ini tak akan terjadi jika pola yang dipakai adalah B to B, seperti yang ada pada UU Pertamina. Pola B to B menjadikan pemerintah berada di atas kontrak sehingga jika terjadi perubahan tak perlu mendapat persetujuan dari pihak asing. Sebagai contoh, dahulu di tahun 60an hingga 1970an awal, kontrak bagi hasil pembagiannya 60% negara dan 40% kontraktor. Saat itu harga minyak dunia sekitar US$ 2 per barrel. Namun, seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia, kontrak ini dirasa tidak cukup adil. Pemerintah akhirnya mengubah pembagiannya menjadi 85% negara dan 15% kontraktor tanpa perlu menunggu persetujuan kontraktor. Ini bisa, karena pola yang digunakan adalah B to B.

***

Terkait cost recovery, dalam Iklan 9 Agustus tertulis: “ Sesungguhnya cost recovery tidak memiliki hubungan linear dengan  produksi apalagi lifting. Perlu diingat sebagian besar lapangan-lapangan minyak di Indonesia adalah lapangan tua dengan produksi yang menurun di satu sisi, dan naiknya kebutuhan akan biaya di sisi lain…”

Cost recovery merupakan pengembalian biaya pengadaan migas ( termasuk biaya eksplorasi, pengadaan alat, eksploitasi, dan biaya operasi)  oleh negara kepada kontraktor karena telah menghasilkan migas secara komersial. Cost recovery dibayarkan dalam bentuk migas seharga uang yang dibayarkan. Yang sering disoroti adalah peningkatan cost recovery dari tahun ke tahun, sementara lifting minyak justru turun dari tahun ke tahun. Bahkan lifting minyak selalu di bawah target.

Sumber : DESDM

Alasan kenapa cost recovery selalu naik ditengah lifting migas yang turun telah dipaparkan dalam iklan kaleng 9 Agustus. Selain itu, menurut pemerintah kenaikan cost recovery dapat dianggap wajar karena harga minyak naik,produksi gas naik, serta adanya biaya treatment khusus untuk ladang minyak tua untuk menggenjot produksi migas ( Enhanced Oil Recovery/EOR).

Namun, kecurigaan berbagai pihak bahwa terjadi penyelewengan dana cost recovery di tubuh BP Migas bukan tanpa alasan. Kendati, kontraktor asing mengajukan Plan of Development, Work Program and Budget, Authority for Expenditure ( rencana pengembangan, pengeluaran,dan otoritas pembelanjaan), itu semua dilakukan di bawah BP Migas. Sedangkan BP migas itu badan hukum yang tidak mempunyai MWA ataupun komisaris sehingga mekanisme kontrolnya lemah. Ini memperikan peluang dilakukannya markup. Belakangan justru BP migas mengusulkan agar CSR ( Corporate Social Responsibility) dimasukkan ke dalam komponen cost recovery !

Selain itu, isu-isu penyelewengan kekayaan negara di aspek hulu pun tak kunjung reda meski UU Pertamina telah diganti oleh UU Migas. Padahal, yang sering dijadikan alasan untuk mencabut UU Pertamina adalah masalah korupsi, akuntabilitas, dan transparansi. Tahun 2011 misalnya, KPK menemukan aset negara di sektor migas senilai Rp 225 trilyun tidak jelas pengelolaannya. Tahun 2007, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP) menemukanindikasi penyimpangan cost recovery sebesar Rp18trilyun.Tahun 2012 pun, anggota BPK menyatakan bahwa ada dugaan kerugian penerimaan negara di sektor migas sekitar US$ 1,7 milliar. Terakhir, berdasarkan temuan FITRA, ada dugaan korupsi senilai Rp76 miiliar terkait pnyewaan gedung kantor BP migas. Kebiasaan pejabat-pejabat BP migas untuk melakukan rapat di hotel mewah pun menjadi sorotan banyak pihak.

Semangat perjuangan reformasi justru dipertanyakan dengan berlakunya UU Migas dan adanya BP Migas. Adanya lembaga ini justru memperumit birokrasi, apalagi karyawan BP Migas yang jumlahnya mencapai 740 orang dan terus akan bertambah.


” Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politiek, tapi soal bagaimana menjadiken manusia yang di dalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya” 
Ir. Soekarno





Referensi :
·         Harian Kompas 9 Agustus 2012, 27 Agustus 2012, dan 20 September 2012
·         Partowidagdo, Widjajono. 2009 . Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis Kebijakan. Jakarta : Pertamina 
·         Data ESDM 2011
·         Swasono, Sri-Edi,dkk. 1992. Mohammad Hatta ,Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi bagi Indonesia. Jakarta : UI Press


Fajar Cipta Yudha Perkasa
Kementerian Kebijakan Nasional KM ITB 2012/2013
Lingkar Studi Indonesia Perkasa

Share |

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites