Monday, June 13, 2011

Geotermal: Kesempatan Kedua bagi Bangsa indonesia

Menghadiri seminar 2 hari Indonesia Geotermal pada 29  dan 30 Maret 2011 baru-baru  ini, saya seperti melihat  kesempatan kedua untuk menjadi tuan di negeri sendiri dibidang energi diberikan kembali oleh Allah SWT kepada bangsa Indonesia. Potensi cadangan sebesar lebih kurang 29 ribu Megawatts bukanlah jumlah yang kecil. PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Geothermal Energy di tahun 2010 telah memproduksi uap setara 272 MW sementara Chevron yang mengklaim dirinya sebagai the world largest geothermal producer dengan menghasilkan 1.273 MW ternyata bersumber dari 2 negara saja, yaitu Indonesia di Gunung  Salak dan Gunung  Darajat di Pulau Jawa sebesar 635 MW, sisanya dengan jumlah yang lebih kurang sama di Pulau  Luzon,  Phillipina.
Kenapa geotermal menjadi kesempatan kedua bagi Indonesia? Mari kita berkaca kepada migas. Di Indonesia produsen terbesar minyak adalah Chevron (d/h Caltex Pacific Indonesia) sedangkan produsen terbesar gas adalah Total E&P Indonesie. Lalu kenapa bukan Pertamina atau perusahaan migas Indonesia yang menjadi tuan  di negeri sendiri?
Bagi insan muda Pertamina sebagian mungkin masih bertanya kapan Pertamina bisa sebesar Petronas.  Untuk itu mari kita tengok kebelakang kilas balik perjalanan migas Indonesia.
Pertamina yang dilahirkan melalui UU No 8 tahun 1971 tanggal 15 September 1971 sebenarnya dirancang untuk menjadikan Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri oleh pemikir-pemikir visioner Indonesia terdahulu. Tahun 1974, undang-undang ini menginspirasi pembentukan Petronas. Kekuatan ekonomi dari UU 8/1971 adalah pengumpulan potensi ekonomis untuk investasi di bidang migas.
Para pemimpin kita pada saat itu tahu  bahwa potensi migas di Indonesia sangat besar namun negara yang baru berdiri kurang dari 30 tahun dan baru bisa  bernapas lebih kurang 5 tahunan ini tidak memiliki uang untuk memanfaatkan potensi tersebut. Untuk itu munculah UU No. 8/1971 dengan tujuan suatu saat Indonesia melalui perusahaan negaranya akan menjadi tuan migas di negerinya sendiri.
Untuk mengeluarkan potensi tersebut Pemerintah RI mengundang perusahaan minyak dunia dan menciptakan sistem kontrak bagi hasil yang terisnpirasi dari sistem paron (bagi dua) penggarapan sawah di tanah Jawa, berbagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap sawah.
Pemerintah sebagai pemilik lahan memberikan mandat kepada Pertamina untuk mengatur sistem paron ini dan juga berbisnis di bidang migas.  Demikian juga yang diterapkan oleh pemerintah Malaysia dengan Laws of Malaysia Act 144 Petroleum Development Act 1974 dan juga national oil company lainnya.
Potensi ekonomi yang dimiliki Pertamina pada saat itu adalah bagian Pemerintah yang diperoleh dari usaha para kontraktor bagi hasil yang pada saat itu masuk menjadi pendapatan Pertamina dan mewajibkan Pertamina menyetor 60 persen baik dari hasil operasinya sendiri maupun dari bagian kontraktor bagi hasil tadi.
Dari sisa 40 persen yang tersisa itulah diharapkan kelak tersedia dana investasi yg cukup besar sehingga kelak pada saat masa kontrak bagi hasil berakhir operator akan beralih kepada bangsa Indonesia.
Potensi ekonomi inilah yang membesarkan Petronas sehingga bisnis E&P mereka ada di 22 negara. Apa yang terjadi dengan  Pertamina? Potensi ekonomi  tersebut tidak bertahan lama, karena  tahun 1975 Pemerintah RI saat itu mengeluarkan Instruksi  Presiden No. 12 tahun 1975 yang mencabut potensi tersebut yaitu dengan mengalihkan bagian Pemerintah dari  kont rak bagi  hasil,    mengeluarkannya dari Pertamina,  langsung masuk ke rekening Pemerintah di Departemen Keuangan.
Sehingga kondisi migas Indonesia saat ini ibarat tambak yang penuh ikan namun tidak ada kolam pembibitan, sehingga kelak habis cadangan migas Indonesia mungkin akan sulit mendapatkan perusahaan Indonesia yang cukup besar beroperasi di sektor upstream internasional, padahal  persaingan yang ketat untuk mendapatkan suatu wilayah kerja dengan perusahaan multinasional membutuhkan dana yg sangat besar.
Hal seperti ini terjadi juga di sektor tambang yang lain, tambang batu bara, tambang emas, tambang nikel dll. Yang  tidak dimiliki oleh perusahaan negara tapi dikuasai oleh perusahaan multinasional atau perusahaan nasional besar. Apakah dengan pola kuras tambak tanpa kolam pembibitan ini dapat membuat perusahaan tambang Indonesia bisa beroperasi secara internasional?
Shell (Royal Dutch Shell) besar berawal dari perusahaan negara yang dibesarkan oleh negara. Demikian juga halnya dengan BP. Bagaimana dengan geotermal Indonesia? Apakah Pertamina akan menjadi pelengkap atau pemain utama tentunya tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan internal Pertamina sendiri tapi juga  keberpihakan Pemerintah untuk menjadikan perusahaan negara ini menjadi tuan di negerinya sendiri. Memberikan prioritas kepada Pertamina dengan tidak semata-mata melihat keuntungan jangka pendek dengan sistem tender terhadap suatu WKP dan juga melibatkan Pertamina dalam setiap proyek geotermal di Indonesia akan memberikan peluang penguasaan energi di Indonesia oleh perusahaan negara dan  kesempatan beroperasi internasional.
Kita berharap “kesalahan sistemik” yang terjadi pada industri migas Indonesia tidak terjadi pada industri geotermal Indonesia.
Share |

Friday, June 10, 2011

Proses Pengolahan Minyak Bumi

Dalam industri minyak bumi, dikenal bermacam-macam proses untuk mengolah minyak mentah menjadi produk-produk yang sesuai dengan kualitas dan spesifikasinya. Proses pengolahan crude, intermediate produk sampai dengan finish produk secara garis besar terbagi menjadi 3 kelompok sebagai berikut :
1)    Proses-proses pemisahan (Separation Processes)
2)    Proses-proses konversi (Conversion Processes)
3)    Proses-proses pemurnian (Treating Processes)

Sebagai awal pengolahan, proses pemisahan distilasi diperlukan untuk memisahkan crude menjadi produk-produk jadi dan setengah jadi sesuai dengan komposisi kandungan crude yang diolah. Akan tetapi sering dijumpai, dengan hanya menggunakan proses pemisahan distilasi kualitas dan kuantitas produk tidak terpenuhi. Hal ini sangat tergantung dari komposisi crude yang dimiliki (crude assay). Oleh karena itu, refinery modern dewasa ini umumnya melanjutkan proses pemisahan minyaknya dengan proses-proses konversi. Yaitu proses yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas suatu produk serta lebih bernilai ekonomis.

Sebagai contoh, meningkatnya kebutuhan gasoline dengan angka oktan yang lebih tinggi, maka residu dan gas oil yang relative kurang dibutuhkan serta lebih murah dapat direngkahkan menjadi naphtha melalui proses cracking. Gas-gas olefin ringan dipolymerisasikan menjadi polymer naphtha. Kedua macam naptha hasil konversi tersebut memiliki angka oktan yang tinggi.

Proses-proses yang termasuk dalam proses konversi ini antara lain :
-          Thermal & Catalytic Cracking
-          Thermal & Catalytic Reforming
-          Polymerization
-          Alkylation
-          Isomerization

Setelah proses konversi, selanjutnya sebagai proses pengolahan terakhir umumnya diperlukan proses pemurnian,. Yaitu proses untuk menghilangkan kontaminan-kontaminan suatu produk dengan mengubah suatu senyawa impuritas menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya sehingga dapat memenuhi spesifikasi.

Proses pemurnian juga tidak hanya ditujukan untuk finish produk saja, dapat pula sebagai preparation feed untuk proses pemisahan dan proses konversi. Sebagai contoh desalter, yaitu proses pemurnian crude dari kandungan garam sebelum proses distilasi atmospheric, Naptha Hydrotreater (NHT) yaitu proses pemurnian naptha dari komponen Sulfur, air dan Nitrogen yang menjadi racun katalis Platformer.
Share |

Unit Proses Platforming

Proses Catalytic Reforming secara kontinyu telah menjadi hal utama di hampir seluruh kilang di dunia selama bertahun-tahun. Fungsi proses ini yang pada awalnya adalah untuk meng-upgrade straight run naphtha dengan angka oktan rendah menjadi komponen motor fuel ber-oktan tinggi dengan mem-promote terjadinya sejumlah reaksi kimia tertentu. Penerapan proses reforming kemudian berkembang untuk produksi hidrokarbon aromatic spesifik. Dengan mengkombinasikan proses reforming dengan ekstraksi aromatic dan fraksinasi, dapat dihasilkan benzene, toluene, dan mixed xylene dengan kemurnian tinggi. Hidrogen, sebagai produk samping dari reaksi produksi aromatic terbukti bermanfaat dalam mendukung operasi unit preparasi feed reformer seperti Naphtha Hydrotreating. Gas-gas hidrokarbon ringan, produk samping reaksi cracking umumnya dimasukkan ke fuel gas system.

Beberapa proses reforming telah dikembangkan dan diaplikasikan, antara lain Platforming Process yang dikembangkan oleh UOP, Powerforming oleh Esso Research and Engineering, Ultraforming dari Standard Oil Ind., Houdriforming & Isoplus Houdriforming oleh Houdry, dan Catalytic Reforming lisensi Chevron.

Dalam pembahasan ini akan diuraikan mengenai unit reforming yang mengacu kepada proses Platforming UOP, sehingga selanjutnya akan langsung disebutkan sebagai Unit Platforming.

Terdapat dua tipe unit platforming, yaitu Semi Regenerative (Fixed Bed) dan Continuous Catalytic Regeneration (CCR). CCR Platforming dianggap merupakan suatu terobosan karena memungkinkan reactor untuk beroperasi pada severity yang ekstra tinggi tanpa sebelumnya perlu dilakukan shutdown untuk mengembalikan catalyst activity. Pada reaktor semi-regenerative, ketika katalis telah dioperasikan selama suatu jangka waktu, catalyst selectivity untuk memproduksi C5+ reformate dan hydrogen akan menurun secara bersamaan dengan terjadinya kehilangan catalyst activity. Hal tersebut membuat operasi tidak ekonomis lagi untuk dilanjutkan dan unit harus shut down untuk regenerasi katalis. Meskipun telah dikembangkan katalis bimetallic yang memiliki cycle length lebih tinggi daripada all-platinum catalyst, namun regenerasi tetap tidak dapat dihindari dengan konsekuensi hilangnya waktu operasi, kehilangan produksi reformate, dan berhentinya produksi hidrogen untuk unit proses downstream. CCR Platformer secara kontinyu menyediakan suplai regenerated catalyst yang kinerjanya menyerupai katalis baru.

Reaksi-reaksi yang terjadi di Platforming adalah
a.             Dehidrogenasi Naphthene
b.            Isomerisasi Naphthene dan Paraffin
c.             Dehidrosiklisasi Paraffin
d.            Hydrocracking
e.             Demetilasi
f.             Dealkilasi aromatic


Share |

Thursday, June 9, 2011

Sistem Air Pendingin

Air adalah zat/unsur kimia yang sangat dibutuhkan manusia, dalam zaman sekarang air banyak sekali digunakan untuk industri dan pertanian.
            Air untuk industri umumnya digunakan sebagai pendingin (cooler, condensor, cooling tower), sebagai pemanas (heater), sebagai pembangkit/steam (driver turbin generator/pompa), sebagai evakuasi gas (vacum system) dan sebagai air minum / proses (pelarut, drinking water, jacket water, boiler feed water).

Pemilihan cooling water dan cooling system yang sesuai adalah salah satu unsur penting dalam perancangan pabrik. Hal ini dikarenakan sistem pendingin berkaitan langsung dengan efisiensi pabrik, selain itu juga berpengaruh pada biaya capital juga biaya operasional. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem pendingin antara lain:
- Availability dan reliability
Ketersediaan dan kesinambungan sistem pendingin merupakan pertimbangan utama.
- Operability dan Maintainability
Meliputi kemudahan pengoperasian dan pemeliharaan
- Biaya investasi
Meliputi seluruh biaya yang diperlukan untuk mendirikan fasilitas sistem pendingin
- Operating cost
Meliputi biaya man power, chemical, electrical dan biaya pemeliharaan
- Dampak lingkungan
Meliputi konsiderasi pada dampak lingkungan seperti polusi limbah, maupun polusi panas

Sebagai islustrasi, bila pada lingkungan industri tersebut potensi air tanah/sungai/danau lebih dominan. Maka pembangunan sistem cooling waternya akan diperolih “close sistem”, sedangkan untuk sistem pengolahan air proses dipilih “Teknologi Pertukaran Ion”. Sedangkan bila lingkungan industri tersebut potensi air laut yang lebih dominan. Maka pembangunan sistem cooling waternya akan dipilih “Once Through System”, sedangkan untuk sistem pengolahan air proses dipilih “Teknologi Desalinasi/Elektrodialysis/Reverse Osmosis”.

            Disamping pertimbangan diatas harus dilihat juga kompleksitas dari unit proses yang tersedia, sehingga akan lebih selektif dalam pemilihan material kontruksi, pengurangan biaya chemical control dan penyederhanaan pembangunan sistem waste water treatment.

            Dari permasalahan sumber air yang tersedia dan kondisi/kompleksitas dari unit proses yang selalu berkembang sesuai keadaan potensi bisnis minyak, diharapkan dari ulasan buku ini akan memberikan informasi tentang pengertian dasar Teknologi Pengolahan Air khususnya cooling water, sehingga akan mampu mengoptimalkan kereaktifitas dan inovasi dalam bekerja pada lingkungan unit yang dihadapi.

Ada tiga system cooling water yang biasa digunakan di industri yaitu :
1). Once through
2). Open evaporative recirculating
3). Closed non-evaporative recirculating

1. Once through systems
Cooling water digunakan sebagai pendingin pada heat exchanger hanya dilewatkan sekali, selanjutnya langsung dikembalikan lagi ke badan air. Once through systems digunakan bilamana kebutuhan cooling water sangat banyak, ketersediaan sumber air banyak dan murah serta memiliki fasilitas untuk menangani buangan air panas dari cooling water yang sudah digunakan.
Keuntungan menggunakan Once through systems :
    • Tidak diperlukan cooling tower
    • Tidak diperlukan pengolan / treatment pendahuluan
Kerugian menggunakan Once through systems :
    • Korosi
    • Fouling
    • Sampah dan kotoran
    • Polusi / pencemaran temperatur di badan air

Diagram sederhana :
 
2. Open evaporative recirculating systems
Air tawar yang berasal dari sungai atau danau dipompakan sebagai make-up cooling tower setelah sebelumnya dilakukan treatment (sedimentasi dan koagulasi) terlebih dahulu. Air tersebut digunakan untuk mendinginkan proses-proses di dalam pabrik.
Air pendingin yang telah panas kemudian didinginkan di cooling tower untuk kemudian disirkulasikan kembali ke dalam pabrik. Untuk menjaga kualitas air, misalnya agar tidak terdapat algae/bacteria dan pengendapan (scaling), maka perlu diinjeksikan beberapa jenis chemicals tertentu. Kualitas air juga dijaga melalui mekanisme make-up dan blow-down.
Sistem ini banyak digunakan oleh pabrik yang berada dekat dengan sumber air tawar atau jauh dari laut. Spesifikasi material untuk peralatan yang menggunakan air tawar tidak perlu sebagus peralatan yang menggunakan air laut, karena air tawar lebih tidak korosif dibandingkan dengan air laut.

Cooling water teruapkan sekitar 1% water. Kehilangan air akibat penguapan ini harus dikompensasi oleh make up cooling water.
Keungtungan menggunakan Open evaporative recirculating systems :
    • Jumlah kebutuhan air medikit (make up);
    • Memungkinkan untuk mengontrol korosi
Kerugian menggunakan Open evaporative recirculating systems :
    • Investasi (capital cost) lebih tinggi daripada once through;
    • Memerlukan cooling tower yang cukup besar;
    • System purge dan blowdown kemungkinan dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan

Diagram sederhana :

 
3. Closed nonevaporative recirculating systems
Air tawar pendingin digunakan untuk mendinginkan proses-proses didalam pabrik. Air tawar pendingin yang telah panas didinginkan kembali di suatu “secondary cooler” (biasanya plate heat exchanger) untuk selanjutnya disirkulasikan kembali secara tertutup kedalam pabrik. Air laut dipakai untuk mendinginkan “secondary cooler” dengan cara hanya sekali pakai (once through), sumber air berasal dari laut kemudian dibuang lagi ke laut.

Cooling water didinginkan pada secondary heat exchanger. Tidak ada loss akibat penguapan juga tidak ada make up.
Keungtungan menggunakan Closed nonevaporative recirculating systems :
    • Cooling water return relatif bersih
    • Temperatur cooling water memungkinkan lebih tinggi dari 100oC
Kerugian menggunakan Closed nonevaporative recirculating systems :
    • Investasi / capital cost sangat tinggi
    • Dibatasi oleh equipment secondary heat exchanger

Diagram sederhana :

   
Share |

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites