Sunday, October 7, 2012

Petisi: Blok Mahakam untuk Rakyat


Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia dengan rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Cadangan blok ini sekitar 27 triliun cubic feet (tcf). Sejak 1970 hingga 2011, sekitar 50% (13,5 tcf) cadangan telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar US$ 100 miliar. Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus naik, blok Mahakam berpotensi pendapatan kotor US$ 187 miliar (12,5 x 1012  x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp 1700 triliun.

Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam ditandatangani oleh pemerintah dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) pada 31 Maret 1967, beberapa minggu setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2. Kontrak berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997. Namun beberapa bulan sebelum Soeharto lengser, kontrak Mahakam telah diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017.
> Karena besarnya cadangan tersisa, pihak asing telah kembali mengajukan perpanjangan kontrak. Disamping permintaan oleh manajemen Total, PM Prancis Francois Fillon pun telah meminta perpanjangan kontrak Mahakam saat berkunjung ke Jakarta Juli 2011. Disamping itu  Menteri Perdagangan Luar Negeri Pran cis Ni cole Bricq kembali meminta perpanjangan kontrak saat kunjungan Jero Wacik di Paris, 23 Juli 2012. Hal yang sama disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012 Padahal sesuai UU Migas No.22/2001, jika kontrak migas berakhir, pengelolaan seharusnya diserahkan kepada BUMN. Apalagi hal ini sesuai amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional. Pertamina pun telah menyatakan keinginan dan kesanggupan mengelola blok Mahakam berkali-kali sejak 2008 hingga sekarang.  Namun, menyimak pernyataan sejumlah pejabat pemerintah, besar kemungkinan Pertamina akan gagal. Kepala BP Migas R.Priyono misalnya mengatakan mendukung Total untuk tetap menjadi operator (7/2012). Wamen ESDM Profesor Rudi Rubiandini meminta agar Pertamina tidak perlu bernafsu menjadi operator blok Mahakam, karena Pertamina tidak akan sanggup secara SDM, teknologi dan finansial, akibat besar dan sulitnya ladang Mahakam (13/9/2012).

Tampaknya Ironi blok Cepu yang diserahkan pada Exxon (2006) akan terulang pada blok Mahakam. Akibatnya, BUMN akan kembali menjadi pecundang: dikalahkan oleh Pemerintah di negara sendiri, dan rakyat dirugikan! Oleh sebab itu, untuk menjamin dominasi BUMN dan mencegah kerugian rakyat, IRESS menggalang gerakan advokasi ini dengan menyiapkan “Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat”. Seluruh komponen bangsa dihimbau untuk bergabung menjadi peserta/petitor dalam gerakan untuk menyuarakan tuntutan ini kepada Pemerintah dan DPR.

Tuntutan
Untuk mencapai kemandirian dan ketahanan energi nasional dan sesuai dengan amanat konstitusi, maka pengelolaan blok Mahakam harus diserahkan kepada Pertamina. Namun tampaknya Menteri ESDM, Wamen ESDM dan Kepala BP Migas cenderung untuk kembali memperpanjang kontrak kepada asing. Terlepas apakah sikap ketiga pejabat ini sepengetahuan dan telah direstui Presiden SBY atau tidak, niat buruk ketiganya harus segera dihentikan. Pemerintah diminta untuktidak bersandiwara dengan mengatakan mendukung BUMN, namun sebenarnya memihak asing. Memperlambat penetapan keputusan patut pula diduga sebagai upaya untuk menyingkirkan Pertamina. Oleh sebab itu pemerintah (dan DPR) dituntut untuk:
1.     Memutuskan status kontrak blok Mahakam melalui penerbitan PP atau Kepmen secara terbuka paling lambat 31 Desember 2012;
2.     Menunjuk dan mendukung penuh Pertamina sebagai operator blok Mahakam sejak April 2017;
3.     Mengabaikan dan menolak berbagai upaya dan tekanan pihak asing, termasuk tawaran kerjasama ekonomi, beasiswa dan komitmen investasi migas guna memperoleh perpanjangan kontrak;
4.     Manjamin pemilikan 10% saham blok Mahakam oleh BUMD (Pemprov Kaltim & Pemkab Kutai Kartanegara) yang pelaksanaannya dikordinasikan dan dijamin oleh Pusat bersama Pertamina, tanpa partisipasi atau kerjasama dengan swasta;
5.     Meminta kepada Total dan Inpex untuk memberikan 20-25% saham blok Mahakam kepada Pertamina sejak 2013 hingga 2017, dengan kompensasi (bagi Total dan Inpex) pemilikan 20-25% saham blok Mahakam sejak 2017 hingga 2037;
6.     Membebaskan keputusan kontrak Blok Mahakam dari perburuan rente dan upaya meraih dukungan politik dan logistik, guna memenangkan Pemilu/Pilpres 2014, seperti terjadi pada tambang Freeport atau Blok Cepu;
7.     Membebaskan pemerintah dari pejabat-pejabat dan kaki-tangan asing yang telah memanipulasi informasi, melakukan kebohongan publik, melecehkan kemampuan SDM dan perusahaan negara dan merendahkan martabat bangsa.

Setiap upaya yang dilakukan untuk membatasi dan menghilangkan hak Pertamina merupakan penghianatan terhadap konstitusi, melecehkan hak rakyat dan mengabaikan tuntutan reformasi berupa pemerintahan yang bebas KKN. Segenap komponen bangsa dan seluruh rakyat Indonesia diminta untuk mendukung dan bergabung dalam gerakan ini guna tercapainya seluruh tuntutan dalam petisi.

Jakarta 10 Oktober 2012

Penandatangan Petisi:

Chandra Tirta Wijaya, Marwan Batubara, Prof. Sri-Edi Swasono, Kwik Kian Gie, Dr Kurtubi, Hatta Taliwang, Suripto, Dr. Hendri Saparini, Prof. Dr Mochtar Pabottingi, Prof. Dr Mukhtasor, Pri Agung Rakhmanto, Dr Anis Baswedan, Dr Iman Sugema, Dr Revrisond Baswir, Dr Fadil Hasan, Dr Erwin Ramedan, Effendi Khoiri, Lily Wahid, Nurmawati Bantilan, Adhie Massardi, Dr Irman Putra Sidin, Dr M. Said Didu, Faisal Yusro, Agus Pambagio, Akhmad Khaqim, Dr Syaiful Bahri, Prof Dr M.Asdar, MJ.Muliahati, Siti Maimunah, Salamuddin Daeng, Dani Setiawan, Riza Damanik, Fabby Tumewa, Wilman Ramdhani, Edy Mulyadi, Abdullah Shodik, Anjar Dimara Sakti, Sugeng Wiyono, dll.
Share |

Resolusi Pekerja Migas Indonesia


Pekerja minyak dan gas bumi (migas) Indonesia di seluruh unit operasi/produksi sebagai industri strategis melalui perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) nasional dan perusahaan asing yang padat modal dan berisiko sangat tinggi, baik lapangan offshore maupun onshore, sangat menyadari kontribusinya yang begitu besar bagi perekonomian Indonesia.
Dalam perjalanan panjang kiprah anak bangsa di perusahaan migas, Pekerja masih mengalami perlakuan yang diskriminatif, lingkungan kerja yang tidak kondusif dan berpotensi tereskalasi menjadi masalah sosial yang destruktif sehingga diharapkan Pemerintah segera hadir menyelesaikan permasalahan hubungan industrial yang terjadi selama ini.
Oleh karena itu, Pekerja migas dalam organisasi Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) menyampaikan RESOLUSI sebagai berikut:
1.    Dalam rangka menjalankan amanat konstitusi yang menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia termasuk Pekerja di lingkungan migas, Pemerintah wajib MEMBATALKAN KONTRAK KERJA SAMA bagi kontraktor/perusahaan migas yang tidak menjalankan prinsip hubungan industrial yang harmonis seperti ketidakmampuan Direksi KKKS dalam menyelesaikan perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan Serikat Pekerja, pelanggaran yang masif terhadap kesepakatan yang telah diatur dalam PKB, perilaku union busting yang dilakukan oleh manajemen puncak di beberapa perusahaan migas/KKKS.
2.    Pemerintah wajib MENGHAPUS SELURUH PERIKATAN PEKERJA DALAM BENTUK OUTSOURCING di lingkungan migas sebagai industri strategis dan berisiko tinggi dalam rangka menumbuhkan harga diri anak bangsa yang terus diperlakukan diskriminatif dalam waktu yang terlalu lama, serta sebagai bentuk perlindungan bagi rakyat Indonesia yang nyata sebagaimana yang diamanatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
3.    Pemerintah sudah saatnya menggunakan haknya sesuai konstitusi untuk memaksa seluruh KKKS untuk TIDAK MEMBERIKAN KESEMPATAN KEPADA TENAGA KERJA ASING dalam mengelola bagian-bagian kegiatan manajemen dan operational migas yang secara nyata telah berhasil di alih-kelola oleh anak bangsa dalam rangka mendorong kemandirian Indonesia.
4.    Pemerintah berkewajiban memberikan jaminan pemberian upah oleh Pekerja Indonesia oleh Perusahan migas/KKKS secara adil dan non-diskriminatif dengan menetapkan skala upah tidak lebih dari 40 antara manajemen puncak/Direksi dan pekerja level paling rendah tanpa melihat jenis perikatan kerjanya.
Demikian RESOLUSI ini diperbuat untuk menjadi perhatian Pemerintah dan pemangku kepentingan industri migas Indonesia sehingga suasana yang kondusif di seluruh unit operasi/produksi dapat dibentuk dalam rangka menjamin keberlangsungan proses produksi yang mampu mendukung perekonomian Indonesia.
Jakarta, 01 Mei 2012
Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI)
Share |

Dianggap Produk IMF, UU Migas Batalin Aja Deh…

Terjadi Tarik Menarik Kepentingan Antar Pemain Bisnis Minyak Tarik menarik kepentingan di balik pengujian Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas (Migas) No. 22 Tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK) makin ketat. Khususnya pasal terkait usaha hulu migas, mengerucut pada tarik ulur dua kutub.

Kutub pertama berpendapat bahwa UU Migas harus diganti dan dikembalikan ke pola lama, yaitu sama dengan UU No. 8 Tahun 1971. Sedangkan kutub kedua mengarah pada upaya pemberdayaan BP Migas yang lebih optimal.

Federasi Serikat Pekerja Pertamiab Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) siap menjelaskan alasan di balik permohonan uji materi UU Migas yang dianggap pro kepentingan asing. Presiden FSPPB Ugan Gandar mengatakan, ada beberapa Pasal UU Migas yang bertentangan dengan UUD 1945.

“UU Migas bertentangan dengan UUD 1945; menilai Pasal 12 dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” imnbuh salah satu kuasa hukum pemohon Benidikty Sinaga.

Presiden KSPMI Faisal Yusra menambahkan, UU Migas secara filosofis, substansi dan materi telah melenceng jauh dari amanat yang dikandung dalam Pasal 33 UUD 1945 karena tidak menegaskan bahwa kepemilikan produksi Migas secara keseluruhan berada pada Negara.

“Pengelolaan Migas dalam konteks kedaulatan dan kemandirian Migas nasional seharusnya hanya diusahakan oleh Negara dan pelaksanaannya ditugaskan dan dikuasakan kepada Badan Usaha Milik Negara (Pertamina),” tegasnya.

Dikatakan, Letter of Intens (LoI) Pemerintah Republik Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) dijadikan dasar pembuatan Undang-undang Migas.

“Tetapi kenyataannya UU MIgas malah membelenggu dan membonsai bisnis Pertamina sebagai perusahaan Negara, di saat perusahaan migas dunia justru semakin terintegrasi sektor hulu dan hilirnya,” ucapnya.

Menurut Faisal dalam UU Migas kedudukan Pertamina dianggap sama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) lain dan tidak terlihat sebagai perusahaan migas milik Negara sebagaimana umumnya di Negara lain yang diberi kewenangan untuk mengelola wilayah kerja pertambangan di negaranya dan mempunyai kekuatan terhadap pengendalian bisnis dan ekonomi Migas.
Share |

DPR Minta Tidak Ada Tender BBM Bersubsidi

Pemerintah diminta segera membatalkan proses tender penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 2013 sebesar 46 juta kiloliter (kl).
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Dito Ganinduto mengatakan, pendistribusian BBM bersubsidi menggunakan uang negara, sehingga tidak sepantasnya diserahkan ke pihak swasta, apalagi asing. Selayaknya, pendistribusian BBM bersubsidi yang merupakan pelayanan publik (public service obligation/PSO) dilakukan pemerintah melalui badan usaha milik negara (BUMN) bidang energi, yakni PT Pertamina (Persero).
"Kalau sampai asing ikut mendistribusikan BBM bersubsidi, maka sama saja dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi kita. Apalagi ini terkait dengan uang negara," kata Dito Ganinduto di Jakarta, Senin (1/10).
Untuk itu, menurut Dito, DPR akan memanggil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik untuk membatalkan proses tender BBM bersubsidi tersebut.
Seperti diketahui, saat ini, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tengah menyelenggarakan tender penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi untuk 2013. Tercatat sebanyak empat perusahaan yang berminat yakni PT Pertamina (Persero), PT Shell Indonesia, PT Aneka Kimia Raya Corporindo Tbk (AKR), dan PT Surya Parna Niaga (SPN).
Dito juga mengatakan, urusan penyaluran subsidi seharusnya dikerjakan BUMN. Untuk itu, pemerintah menjadikan BUMN, seperti PT Pertamina (Persero), sebagai satu-satunya perusahaan yang menyediakan dan mendistribusikan BBM bersubsidi di seluruh pelosok negeri.
"Meski soal tender ada aturannya, namun pemerintah semestinya tidak serta merta memberikan alokasi untuk idstribusi BBM bersubsidi ke perusahaan selain Pertamina. Apalagi swasta asing," ujarnya.
Menurut dia, pemerintah bisa mencontoh Malaysia atau Singapura yang mensyaratkan pembangunan kilang jika ingin mendistribusikan BBM. Jadi tidak dibuka seperti saat ini. "Siapapun bisa membangun SPBU. Ini liberalisasi yang kebablasan," tuturnya.
Di lain pihak, Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria juga menilai, pemerintah sebaiknya menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana tunggal dalam penyediaan serta pendistribusian BBM bersubsidi. Penunjukan badan usaha lain, apalagi swasta asing, sebagai pelaksana penyediaan dan penyaluran BBM bersubsidi tidak memberikan nilai tambah bagi pemerintah. Bahkan, di mata publik, proses penetapan yang dilakukan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) ini hanya seperti "bagi-bagi kue" dalam bisnis BBM bersubsidi.
"Ditetapkannya beberapa perusahaan pelaksana pengadaan dan penyaluran BBM bersubsidi, termasuk swasta nasional dan asing, hanya memperpanjang rantai koordinasi dengan BPH Migas dalam melakukan pengawasan," katanya.
Menurut dia, penunjukan hanya satu badan usaha, apalagi BUMN seperti Pertamina pada dasarnya tidak melanggar hukum. Ini dikarenakan penunjukan langsung ini berkaitan dengan BBM yang disubsidi pemerintah. Lain halnya jika yang akan didistribusikan adalah BBM nonsubsidi. Memang berpotensi melanggar Undang-Undang (UU) Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Apalagi penetapan selain Pertamina untuk menangani BBM bersubsidi, pada dasarnya menjadikan biaya distribusi BBM tidak efisien. "Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah," tutur Sofyano.
Hal senada juga disampaikan pengamat energi dari Indonesian Resourses Studies (Ires) Marwan Batubara. Dia meminta pemerintah membatalkan proses tender BBM bersubsidi yang kini tengah dilakukan BPH Migas.
"Untuk urusan BBM bersubsidi, tidak layak diserahkan ke swasta, apalagi asing. Serahkan saja ke BUMN, yakni Pertamina, yang 100 persen sahamnya dimiliki negara. Selama ini pelaksanaan tender yang sudah berjalan 3-4 tahun belakangan cenderung dipaksakan. Jadi, kenapa tidak sekalian ditiadakan saja," katanya.
Pemerintah berkomitmen untuk memperbaiki penyaluran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan merestrukturisasi pihak-pihak penerima karena selama ini dinilai tidak tepat.
Pengguna dari masyarakat golongan tidak mampu dan transportasi umum tetap menjadi prioritas yang harus memperoleh manfaat dari subsidi untuk BBM. Hingga saat ini, meski mencapai ratusan triliun rupiah, pemerintah tidak bisa menghapus subsidi untuk BBM karena dibutuhkan masyarakat.
Meski demikian, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengakui struktur pemberian subsidi untuk BBM masih kurang baik. Untuk itu, pemerintah akan merestrukturisasi penerimanya.
"Jadi, nantinya yang boleh menikmati subsidi hanya yang berhak, misalnya untuk transportasi umum maupun masyarakat yang tidak mampu. Saya tetap beranggapan rakyat harus diberi subsidi BBM. Idealnya pemberian subsidi dilakukan secara langsung untuk masyarakat yang tidak mampu. Namun pemerintah masih memerlukan waktu," tutur Hatta.
Dia menjelaskan, perbedaan harga (disparitas) antara BBM bersubsidi dengan nonsubsidi cukup tinggi. Jika tidak diawasi dengan ketat, maka bakal memicu tindakan penyimpangan dan penyelundupan.
Share |

KSPMI Minta Pemerintah Serahkan Pengelolaan BBM PSO ke Pertamina


PRESIDEN Könfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusra menegaskan, untuk memperjuangkan kedaulatan energi nasional, maka pemerintah harus menyerahkan pengelolaan bahan Bakar Minyak (BBM) PSO secara penuh kepada Pertamina.


Untuk itu, KSPMI meminta Pertamina agar tidak memasukkan penawaran PSO bila disandingkan dengan 40 kompetitor pemburu rente. "Memangnya siapa yang sanggup menanggung cost of money penyediaan stok nasional operasional 20 hari? Itu nilainya lebih Rp 30 triliun yang ditanggung Pertamina," katanya dalam pesan singkatnya kepada SENTANA di Jakarta, Senin (01/10).

Dia menyatakan, selama ini pihak asing hanya menjadi partner Pertamina, bukan sebagai pemilik atau operator strategis migas indonesia. "Bangsa ini harus sadar nasionalisasi migas menjadi patut untuk diperjuangkan," tandasnya lagi.

Faisal juga menyesalkan pandangan Dirjen Migas Evita Legowo dalam sidang Judicial Review UU Migas di Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sektor hilir migas adalah bisnis bukan strategis. "Kedaulatan migas Indonesia akan hilang dan menjadi bencana di masa mendatang yang pada gilirannya akan menghancurkan ketahanan energi Indonesia," cetus dia.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR Bobby Aditya Rizaldi sepenuhnya mendukung agar proses tender BBM bersubsidi oleh BPH Migas itu ditinjau ulang. "Karena itu PSO yang disubsidi, dan kenapa margin keuntungannya tidak diberikan ke Pertamina? Memang perlu dikaji oleh pemerintah sehingga tidak melanggar UU persaingan usaha, tapi mengingat BBM PSO ini adalah barang strategis, hendaknya didistribusikan penuh oleh pemerintah via Pertamina," ujarnya kemarin.

Bobby menyebutkan, bila memang ada perusahaan selain Pertamina yang mampu mendistribusikan BBM PSO dengan harga lebih murah, itu baru namanya lebih efisien. "Kalo perlu semuanya diserahkan ke perusahaan tersebut. Tetapi kan tender distribusi BBM PSO ini dari segi biaya sama saja, jadi tidak ada nilai tambah, hanya bagi-bagi fee dan margin saja," demikian menurut Bobby Aditya Rizaldi.

Sebelumnya Direktur Pusat Studi Kebijaka Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria juga menyampaikan hal yang sama. “Pemerintah dan BPH Migas sebaiknya menunjuk pelaksana tunggal untuk melaksanakan tugas PSO BBM yakni Pertamina. Sebab penunjukan badan usaha lain sebagai pelaksana BBM subsidi tidak memberi nilai tambah bagi pemerintah bahkan oleh publik akan dimaklumi sebagai "bagi-bagi" kue PSO BBM saja,” katanya Minggu.

Menurut dia, dengan adanya beberapa pelaksana PSO BBM akan memperpanjang rantai koordinasi BPH Migas dalam melakukan pengawasan terhadap bbm bersubsidi di negeri ini. "Pada dasarnya, menunjuk satu badan usaha apalagi badan usaha tersebut adalah BUMN tidaklah melanggar hukum, karena penunjukan ini terkait BBM yang disubsidi oleh pemerintah. Lain halnya jika yang akan didistribusikan adalah BBM non subsidi, ini berpotensi melanggar UU anti monopoli," tutur Sofyano.

Ia menegaskan, adanya badan usaha lain yang ditunjuk melaksanakan tugas PSO BBM selain Pertamina kenyataannya belum mampu memperkecil atau menekan penyelewengan BBM bersubsidi. "Jadi sebaiknya tender BBM PSO dihapus saja dan pemerintah langsung menugaskan Pertamina sebagai pelaksana tunggal dengan menetapkan fee berdasarkan ketentuan pemerintah," imbuhnya.

Sofyano menambahkan, pada dasarnya tender BBM PSO juga tidak menjadikan biaya distribusi menjadi murah. "Seharusnya hal ini menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah untuk mengganti tender dengan penunjukan langsung kepada Pertamina," tukasnya. (SL)
Share |

Monday, October 1, 2012

Pertamina Harus Jadi Pelaksana Tunggal

Pemerintah sebaiknya menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana tunggal dalam penyediaan serta pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai, penunjukan badan usaha lain, apalagi swasta asing, sebagai pelaksana penyediaan dan penyaluran BBM bersubsidi tidak memberikan nilai tambah bagi pemerintah. Bahkan di mata publik, proses penetapan yang dilakukan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) ini hanya seperti "bagi-bagi kue" dalam bisnis BBM bersubsidi.

"Ditetapkannya beberapa perusahaan pelaksana pengadaan dan penyaluran BBM bersubsidi, termasuk swasta nasional dan asing, hanya memperpanjang rantai koordinasi dengan BPH Migas dalam melakukan pengawasan," kata Sofyano Zakaria di Jakarta, Minggu (30/9).

Menurut dia, penunjukan hanya satu badan usaha, apalagi badan usaha milik negara (BUMN) seperti Pertamina pada dasarnya tidak melanggar hukum. Ini karena penunjukan langsung ini berkaitan dengan BBM yang disubsidi pemerintah. Lain halnya jika yang akan didistribusikan adalah BBM nonsubsidi. Memang berpotensi melanggar Undang-Undang (UU) Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Untuk itu, pemerintah harus menghapus tender BBM bersubsidi dan langsung menugaskan BUMN di bidang energi, seperti Pertamina sebagai pelaksana tunggal. Tentunya dengan komisi (fee) sesuai ketentuan pemerintah. Apalagi penetapan selain Pertamina untuk menangani BBM bersubsidi, pada dasarnya menjadikan biaya distribusi BBM tidak efisien. "Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah," tutur Sofyano.

Lebih jauh dia mengatakan, tender BBM bersubsidi oleh pemerintah dan BPH Migas terkesan seperti basa-basi belaka. Jika memang selain Pertamina ada pihak yang mampu mendistribusikan BBM bersubsidi lebih murah ke seluruh daerah di Indonesia, pemerintah seharusnya menugaskannya untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia

Hal senada juga disampaikan pengamat energi dari Indonesian Resourses Studies (Ires) Marwan Batubara. Dia meminta pemerintah membatalkan proses tender BBM bersubsidi yang kini tengah dilakukan BPH Migas.

"Untuk urusan BBM bersubsidi, tidak layak diserahkan ke swasta, apalagi asing. Serahkan saja ke BUMN, yakni Pertamina yang 100 persen sahamnya dimiliki negara. Selama ini pelaksanaan tender yang sudah berjalan 3-4 tahun belakangan cenderung dipaksakan. Jadi, kenapa tidak sekalian ditiadakan saja," katanya. Dia juga meminta pemerintah tidak bermain-main dengan urusan BBM bersubsidi yang terkait dengan kebutuhan utama rakyat.

Seperti diketahui, saat ini BPH Migas tengah menyelenggarakan tender penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi untuk 2013.

Tercatatempat perusahaan berminat, yakni Pertamina, PT Shell Indonesia, PT Aneka Kimia Raya Corporindo Tbk (AKR), dan PT Surya Parna Niaga (SPN).
Share |

Friday, September 28, 2012

Iklan UU Migas yang Menyesatkan


Pertengahan September lalu, sejumlah tokoh nasional melapor ke dewan pers terkait dimuatnya iklan UU Migas kompas edisi 9 dan 27 Agustus 2012. Iklan ini dinilai sejumlah pihak menyesatkan opini publik. Ini terkait dengan sidang UU migas yang kini banyak digugat ke MK. Iklan seluas setengah halaman koran tersebut tak mencantumkan penulis/ lembaga . Namun, siapa pun yang memasang iklan tersebut, ia pasti memiliki modal yang besar. Muncul dugaan kuat bahwa pemasang iklan adalah pemerintah atau BP migas. Setelah membaca berita terkait pengaduan tokoh-tokoh nasional tersebut, saya mencari-cari koran kompas edisi 9 dan 27 Agustus.  Alhamdulillah, akhirnya saya temukan juga kedua iklan tersebut. Berkut ini hasil poin-poin penting berikut tanggapan atas isinya, mudah-mudahan tidak terlalu terlambat.


Iklan UU migas tanggal 27 Agustus 2012 disebutkan bahwa: Undang-undang no. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan salah satu buah hasil perjuangan refomasi tahun 1998 untuk mendorong akuntabilitas , tata kelola industri, dan manajemen pengelolaan industri hulu migas yang lebih baik serta mendukung anti korupsi.


Telah dipaparkan dalam Opini Energi V bahwa UU Migas, alih-alih merupakan hasil perjuangan reformasi untuk industri hulu migas yang lebih baik, lebih mencerminkan hasil tekanan IMF dan USAID sebagai syarat pinjaman pemerintah RI pasca krisis moneter 1998. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam UU Migas adalah : mencabut kuasa pertambangan dari Pertamina, menyamakan status Pertamina dengan Perusahaan minyak asing, memecah Pertamina atas usaha hulu dan hilir (unbundling) agar sektor migas lebih mudah di privatisasi, menerapkan harga pasar untuk BBM, menghilangkan subsidi BBM, membuka sektor hilir bagi perusahaan asing,  membentuk lembaga baru BP Migas dan BPH Migas. Dokumen lengkap persyaratan yang diajukan IMF dapat dilihat langsung di : http://ww.imf.org/external/np/loi/2000/id/01/index.htm

Dalam dokumen resmi USAID pun, mereka mengakui bahwa mereka turut merumuskan  UU ini : “ USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for the oil and gas legislation.”

UU migas memecah industri migas ke dalam usaha hulu dan hilir, ini berbeda dengan UU sebelumnya yang mengintegrasikan secara vertikal aspek hulu dan hilir ( vertically integrated). Padahal denganvertically integrated, sebuah perusahaan akan lebih efisien. Logikanya sederhananya begini, jika kita memiliki perusahaan yang terintegrasi dari hulu ke hilir, dari penyediaan bahan baku hingga penjualan, rantai supply bisa terjaga dan biaya pihak ketiga bisa ditekan. Hal demikian pula berlaku pada sektor migas. Biaya yang ditanggung konsumen akan lebih rendah jika vertically integrated. Selain itu, jika dilakukan unbundling, hal yang dapat terjadi adalah sebagai berikut : Jika harga minyak mentah dunia naik, maka perusahaan yang ada di sektor hulu akan mendapat keuntungan besar.Akan tetapi, bagaimana di sektor hilir seperti di unit pengilangan misalnya? Jelas keuntungan mereka akan berkurang karena mereka harus mendapatkan bahan baku dengan harga mahal, tetapi harga barang harus sampai di tangan konsumen dengan harga tetap. Dapat terjadi pula sebalikanya jika harga minyak dunia turun, sektor hulu menikmati keuntungan sedikit, tetapi sektor hilir mendapat keuntungan yang melimpah. Ini semua dapat terjadi jika dilakukan unbundling, pemisahan usaha di hulu dengan di hilir. Agar terjadi keseimbangan, maka sebaikanya hulu dan hilir terintegrasi.

Liberalisasi di sektor hilir pun memberikan angin segar bagi perusahaan-perusahaan asing. Tentu saja karena kesempatan untuk merambah ke sektor yang resikonya relatif lebih rendah daripada sektor hulu itu pun terbuka lebar. Ini dikuatkan dengan rencana untuk menyerahkan harga BBM ke pasar. SPBU asinglah pihak pertama yang akan bersorak-sorai jika hal ini terjadi.

Jelas sekali bahwa ketimbang merupakan representasi dari semangat reformasi, UU migas lebih terlihat sebagai hasil dikte kekuatan asing atas perekonomian Indonesia.

***


Dalam iklan 9 Agustus, dikutip kata-kata Bung Hatta:
” Untuk membangun negara kita, kita tidak mempunyai kapital karena itu kita pakai kapital asing untuk kepentingan kita. Kita anti kapitalisme tetapi tidak antikapital. Kita juga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing karena memang kekurangan tenaga ahli.  Mereka itu kita bayar menurut ukuran pembayaran internasional yang memang tinggi jika dibandingkan dengan pembayaran kepada tenaga –tenaga ahli kita. Hal itu jangan diirikan karena mereka itu tidak mempunyai kewajiban terhadap negara kita, sedang kita mempunyai kewajiban terhadap negara dan bangsa.”


Seperti kita ketahui sekitar 74% migas di Bumi Indonesia dikelola oleh perusahaan asing. Pernyataan tersebut dijadikan pembenaran oleh pembuat iklan kaleng untuk permisif terhadap kuasai perusahaan asing di sektor-sektor strategis seperti migas. Jika baca pemikiran-pemikiran ekonomi Hatta, terutama esai-esainya di harian Daulat Rakjat, tampak jelas bahwa beliau begitu membenci kapitalisme dan dominasi modal swasta yang pada akhirnya melahirkan imperialisme. Hatta memang tak anti terhadap modal asing, tetapi pada iklan kaleng tersebut, nyata-nyata pendapat Hatta dipelintir sebagai legitimasi kuasa asing di sektor migas. Menurut Hatta, modal atau bantuan dari luar negeri kepada negara berkembang harus mendorong timbulnya aktivitas ekonomi sendiri. Perekonomian harus dijalankan dengan cita-cita self-help dan self-reliance. Modal atau bantuan tersebut harus melancarkan ekonomi negara berkembang sampai pada suatu tingkat di mana ia seterusnya dapat bergerak sendiri atas kekuatan sendiri (Swasono, 1992). Production Sharing Contract (PSC) yang melibatkan kontraktor asing pun dulu digagas Soekarno agar terjadi penumpukan kapital dan penguasaan teknologi sehingga suatu saat pengelolaan sepenuhnya dapat dilakukan oleh perusahaan negara.

Terkadang ada juga sekelompok orang yang bertanya mengapa perlu mandiri? Bukankah tidak masalah diserahkan ke asing jika itu lebih efisien, asalkan mampu menyejahterakan rakyat? Pada zaman dahulu para pejuang negeri ini berjuang untuk mencapai kemerdekaan, padahal mungkin mereka tahu bahwa perekonomian awal kemerdekaan belum tentu akan lebih baik daripada zaman penjajahan. Padahal di zaman dulu, pemerintahan kolonial banyak membangun infrastruktur, kebun, ataupun industri yang menyerap tenaga kerja. Namun, kaum intelektual pribumi yang sebetulnya memiliki kesempatan emas berkarir di kantor pemerintah maupun di industri, memilih meninggalkan zona nyamannya untuk berjuang mencapai kemerdekaan. Secara naluriah manusia selain menginginkan kesejahteraan juga menginginkan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, ia tak suka dikekang. Dominasi asing akan menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada pihak lain yang menyebabkan masyarakat tersebut kesulitan menentukan masa depannya.  Bayangkan, bagaimana mungkin cita-cita nasional untuk menjaga keamanan dan ketertiban dunia bisa dijalankan jika dalam hal ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada para kapitalis asing.

Bayangkan betapa sedihnya founding fathers jika mereka melihat hingga kini masih begitu bergantungnya kita pada kuasa modal asing. Pada akhir dekade 1970-an pun Bung Hatta sudah mengungkapkan keprihatinannya pada Mochtar Lubis, “…betapa lemahnya kita sekarang melindungi perdagangan dalam negeri kita yang seharusnya berada dalam tangan Indonesia sendiri.” Andaikata masih hidup, Bung Hatta pasti makin sedih dan prihatin karena kata-katanya dijadikan pembenaran dominasi asing oleh pemerintah bermental inlander.

( Kata-kata Bung Hatta dalam iklan juga dikutip oleh saksi ahli pemerintah saat sidang JR 1 Agustus lalu, kebetulan saat itu saya hadir di MK. Ini menguatkan dugaan bahwa yang memasang iklan tersebut adalah pemerintah/BP Migas)

***
Iklan kompas 27 Agustus berjudul : NEGARA BERDAULAT PENUH ATAS SUMBER DAYA MIGAS. Pada iklan  tersebut, disebutkan pasal 4 ayat 1, 2, dan 3 jadi dasarnya bahwa kedaulatan masih di tangan negara. Selain itu, iklan tersebut menyebutkan bahwa kekayaan alam migas Indonesia tetap terjamin milik Pemerintah meskipun keberadaan fisiknya  bisa tidak di wilayah hukum Indonesia. Iklan tersebut memberikan contoh bahwa jika LNG Indonesia dikirimkan kepada pembeli di luar negeri, saat sewaktu-waktu dibutuhkan untuk pasokan domestik, selama belum sampai titik penyerahan, dapat diminta kembali oleh Indonesia.

Makna penguasaan oleh negara dalam pasal 4 ayat 1 dan Kuasa Pertambangan pada ayat 2 sebenarnya menjadi rancu ketika pemerintah menyerahkan Kuasa Pertambangannya itu kepada Badan Pelaksana (BP Migas). BP migas mewakili pemerintah untuk berkontrak dengan perusahaan. Jadi pola perjanjian yang terjadi adalah B to G, bukan B to B.  Pemerintah dalam hal ini merendahkan kedudukannya menjadi setara dengan perusahaan asing. Apa dampaknya? Dampaknya jika suatu saat terjadi perselisihan dalam kerjasama, negara dapat diseret ke arbitrase internasional. Hal ini juga memungkinkan disitanya aset negara yang ada di luar negeri misalnya pesawat, kantor kedutaan,dll.

Ada pula yang menganggap bahwa kontrak yang terjadi berpola BP migas to B. Artinya, BP migas tak bisa disamakan dengan pemerintah atau negara. Pertanyaannya lalu BP migas apa? Apakah mungkin perusahaan asing internasional mau berkontrak dengan BP migas sebagai badan hukum dan tak ada  jaminan? Tentu tak akan mau. Kita tahu bahwa BP migas tak memiliki aset sebagaimana perusahaan migas. Kantor mereka saja kini masih menyewa di Gedung Wisma Mulia. Perusahaan asing mau berkontrak dengan BP migas karena dibelakang BP Migas ada pemerintah sehingga ada jaminan aset-aset, termasuk  economics right migas.

Dalam mekanisme B to G, sewaktu-waktu pemerintah merasa dirugikan dan hendak mengubah perkanjian, perlu mendapat persetujuan pihak kontraktor. Itu disebabkan keduduka bahwa pemerintah yang sejajar dengan kontraktor. Contoh pola serupa adalah tambang freeport. Pemerintah begitu sulitnya melakukan renegosiasi untuk menaikan royalti dari 1% menjadi 3,75%.

Di sektor migas, jelas sekali kontrak LNG (Liquified Natural Gas) Tangguh antara pemerintah dan BP (British Petroleum) , yang berarti berpola B to G, begitu merugikan negara. Blok Tangguh yang dikelola BP menjual gas hanya dengan harga US$3,35 per mmbtu (million british thermal unit) ke Fujian Cina , sementara di saat yang sama harga jual gas ke dalam negeri US$7 per mmbtu. Penjualan LNG Tangguh ini juga jauh di bwah harga LNG Badak di Kaltim yang di ekspor ke seharga US$ 20 per mmbtu ( Lapangan ini dikembangkan dengan UU Pertamina). Negara dirugikan puluhan trilyun per tahun dengan penjualan murah LNG Tangguh ke Cina. Di saat yang sama banyak industri dalam negeri yang membutuhkan gas seperti industri pupuk, semen, dan kertas.  Jelas statement  iklan yang menyatakan bahwa pengapalan LNG dapat dibatalkan dan disuruk balik ke RI jika perlu pasokan domestik terbantahkan.

Posisi BP migas sebagai badan hukum pun tidak memungkinkan BP migas menjual langsung bagian gas milik negara. Dalam hal ini, BP migas harus menunjuk pihak ketiga, dan sayangnya pihak ketiga yang ditunjuk tak selalu Pertamina. Untuk kasus LNG Tangguh ini, BP Migas justru menunjuk BP (British Petroleum) untuk menjual gas bagian negara.

Pola B to G yang dijalankan sekarang dengan UU migas menyulitkan renegosiasi pemerintah dengan perusahaan asing. Posisi yang setara menyebabkan perubahan kerjasama perlu mendapat persetujuan dari pihak asing. Ini tak akan terjadi jika pola yang dipakai adalah B to B, seperti yang ada pada UU Pertamina. Pola B to B menjadikan pemerintah berada di atas kontrak sehingga jika terjadi perubahan tak perlu mendapat persetujuan dari pihak asing. Sebagai contoh, dahulu di tahun 60an hingga 1970an awal, kontrak bagi hasil pembagiannya 60% negara dan 40% kontraktor. Saat itu harga minyak dunia sekitar US$ 2 per barrel. Namun, seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia, kontrak ini dirasa tidak cukup adil. Pemerintah akhirnya mengubah pembagiannya menjadi 85% negara dan 15% kontraktor tanpa perlu menunggu persetujuan kontraktor. Ini bisa, karena pola yang digunakan adalah B to B.

***

Terkait cost recovery, dalam Iklan 9 Agustus tertulis: “ Sesungguhnya cost recovery tidak memiliki hubungan linear dengan  produksi apalagi lifting. Perlu diingat sebagian besar lapangan-lapangan minyak di Indonesia adalah lapangan tua dengan produksi yang menurun di satu sisi, dan naiknya kebutuhan akan biaya di sisi lain…”

Cost recovery merupakan pengembalian biaya pengadaan migas ( termasuk biaya eksplorasi, pengadaan alat, eksploitasi, dan biaya operasi)  oleh negara kepada kontraktor karena telah menghasilkan migas secara komersial. Cost recovery dibayarkan dalam bentuk migas seharga uang yang dibayarkan. Yang sering disoroti adalah peningkatan cost recovery dari tahun ke tahun, sementara lifting minyak justru turun dari tahun ke tahun. Bahkan lifting minyak selalu di bawah target.

Sumber : DESDM

Alasan kenapa cost recovery selalu naik ditengah lifting migas yang turun telah dipaparkan dalam iklan kaleng 9 Agustus. Selain itu, menurut pemerintah kenaikan cost recovery dapat dianggap wajar karena harga minyak naik,produksi gas naik, serta adanya biaya treatment khusus untuk ladang minyak tua untuk menggenjot produksi migas ( Enhanced Oil Recovery/EOR).

Namun, kecurigaan berbagai pihak bahwa terjadi penyelewengan dana cost recovery di tubuh BP Migas bukan tanpa alasan. Kendati, kontraktor asing mengajukan Plan of Development, Work Program and Budget, Authority for Expenditure ( rencana pengembangan, pengeluaran,dan otoritas pembelanjaan), itu semua dilakukan di bawah BP Migas. Sedangkan BP migas itu badan hukum yang tidak mempunyai MWA ataupun komisaris sehingga mekanisme kontrolnya lemah. Ini memperikan peluang dilakukannya markup. Belakangan justru BP migas mengusulkan agar CSR ( Corporate Social Responsibility) dimasukkan ke dalam komponen cost recovery !

Selain itu, isu-isu penyelewengan kekayaan negara di aspek hulu pun tak kunjung reda meski UU Pertamina telah diganti oleh UU Migas. Padahal, yang sering dijadikan alasan untuk mencabut UU Pertamina adalah masalah korupsi, akuntabilitas, dan transparansi. Tahun 2011 misalnya, KPK menemukan aset negara di sektor migas senilai Rp 225 trilyun tidak jelas pengelolaannya. Tahun 2007, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ( BPKP) menemukanindikasi penyimpangan cost recovery sebesar Rp18trilyun.Tahun 2012 pun, anggota BPK menyatakan bahwa ada dugaan kerugian penerimaan negara di sektor migas sekitar US$ 1,7 milliar. Terakhir, berdasarkan temuan FITRA, ada dugaan korupsi senilai Rp76 miiliar terkait pnyewaan gedung kantor BP migas. Kebiasaan pejabat-pejabat BP migas untuk melakukan rapat di hotel mewah pun menjadi sorotan banyak pihak.

Semangat perjuangan reformasi justru dipertanyakan dengan berlakunya UU Migas dan adanya BP Migas. Adanya lembaga ini justru memperumit birokrasi, apalagi karyawan BP Migas yang jumlahnya mencapai 740 orang dan terus akan bertambah.


” Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politiek, tapi soal bagaimana menjadiken manusia yang di dalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya” 
Ir. Soekarno





Referensi :
·         Harian Kompas 9 Agustus 2012, 27 Agustus 2012, dan 20 September 2012
·         Partowidagdo, Widjajono. 2009 . Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis Kebijakan. Jakarta : Pertamina 
·         Data ESDM 2011
·         Swasono, Sri-Edi,dkk. 1992. Mohammad Hatta ,Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi bagi Indonesia. Jakarta : UI Press


Fajar Cipta Yudha Perkasa
Kementerian Kebijakan Nasional KM ITB 2012/2013
Lingkar Studi Indonesia Perkasa
Share |

Dimana Ketahanan Energi Nasional


” Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang”
 Ir. Soekarno


Beberapa  organisasi masyarakat kini tengah mengajukan judicial review UU Migas. Undang-undang ini dinilai banyak pihak tidak sejalan dengan amanah konstitusi dan merugikan Indonesia. Gugatan masyarakat kini semakin kuat menjelang habisnya kontrak puluhan blok migas yang kini dikuasai oleh perusahaan multinasional. Hingga tahun 2021 mendatang terdapat sekitar 29 blok  migas asing yang habis masa kontraknya. Beberapa di antaranya yaitu Siak (kini dikelola Chevron, habis 2013), Mahakam (Total, 2017), South Sumatra, SES (CNOOC,2018),South Natuna Sea B (Conoco-Phillips, 2018), East Kalimantan (Chevron, 2017), Sanga-sanga (Virginia, 2018), Lho Sukon B (Exxon, 2017), Corridor, Bertak, dan Bijak Ripah (Conoco-Phillips, 2016), Onshore Salawati Basin (PetroChina,2016), dan Arun B (Exxon, 2017).

Di mana sebenarnya letak kekeliruan UU migas ? Pada opini energi sebelumnya, telah penulis paparkan aspek historis yang melatarbelakangi lahirnya UU Migas. Dalam tulisan ini penulis akan mengemukakan keganjilan yang terdapat dalam UU migas dari aspek keberpihakan pada negara dan aspek tata lembaga.

Aspek keberpihakan kepada negara

UU Migas tak memberikan kepastian bahwa pihak nasional diprioritaskan untuk penguasaan dan pengelolaan wilayah migas. Setelah UU ini berlaku, Pertamina yang dalam hal ini perusahaan negara (National Oil Company, disingkat NOC) kedudukannya setara dengan perusahaan-perusahaan migas lain. NOC kemudian hanya berperan sebagai peserta tender bersama perusahaan migas lain, sedangkan negara yang diwakili BP Migas hanya berperan sebagai regulator, atau lebih sederhananya, sebagai juri yang netral. Hak monopoli Pertamina (sebagaimana ada saat UU Pertamina berlaku) sebagai NOC dicabut.

Di satu sisi Pertamina berkembang karena bersaing dengan banyak kontraktor, di sisi lain Pertamina harus bersaing dengan perusahaan –perusahaan minyak dengan kelas yang lebih tinggi. Ini logika sistem ekonomi kapitalis-liberal yang seakan adil memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta. Setiap peserta dikondisikan untuk bersaing sehingga pada akhirnya pihak yang paling berkualitas dan paling efisien lah yang keluar sebagai pemenang. Padahal kenyataannya, setiap peserta berangkat dari titik yang berbeda. Bagai mengadukan petinju kelas bulu dengan petinju kelas berat, tentu hampir bisa dipastikan petinju kelas beratlah yang keluar sebagai pemenang. Persaingan dalam dunia migas yang melibatkan berbagai perusahaan dari berbagai level tentu hanya akan menghasilkan monopoli atau oligopoli baru, dimana satu atau beberapa perusahaan migas dengan kapital terbesar dan sudah mapan terlebih dahulu lah yang akan menguasai pasar. Justru seharusnya pemerintah membenahi dan memberdayakan Pertamina hingga cukup setara dengan perusahaan-perusahaan asing sebelum memasuki area pasar bebas.

Tidak ada yang salah dengan monopoli negara dibidang migas . Kita dapat melihat Petronas yang dahulu banyak belajar dari Pertamina pada tahun 1970an. Namun, kini Petronas telah jauh melesat mendahului Pertamina. Dalam Petroleum Intelligence View 2009 tercatat Petronas berada di peringkat 9, sedangkan Pertamina berada di peringkat 30. Padahal pada awal tahun 1970an Petronas mengadaptasi langsung UU no.8 Tahun 1971 ( UU Pertamina) sebagai regulasi pengelolaan migas dan diberi nama Petroleum Development Act 1975 (PAD 1975). Sampai sekarang Petronas masih menggunakan payung hukum yang sama. Sebagaimana UU Pertamina, PAD 1975 memberikan kuasa penuh terhadap sumber daya migas negara. Di sektor hulu, semua investasi asing langsung di bawah pengawasan Pertamina. Petronas pun, sebagai Integrated State Oil Company,diberi wewenang untuk menjadi pemain sekaligus regulator dalam industri migas Malaysia. Petronas langsung di bawah Perdana Menteri Malaysia, sehingga ia dapat berekspansi bisnis secara leluasa. Dengan menggunakan PAD 1975, yang merupakan adaptasi dari UU Pertamina, Petronas mampu menjadi perusahaan minyak kelas dunia. Ini menunjukan bahwa tak selamanya monopoli perusahaan negara atas sektor migas bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam bisnis. Konstitusi kita pun menegaskan bahwa minyak sebagai barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.

Aspek Tata Lembaga

Dengan adanya UU Migas, Pertamina yang di UU sebelumnya diberi kuasa sebagai regulator sekaligus pemain kini hanya bertindak sebagai pemain. Sebagai regulator, dibentuklah BP ( Badan Pelaksana) Migas yang berstatus Badan Hukum Milik Negara. Yang paling banyak dipertanyakan adalah keberadaan BP migas yang justru membuat industri  migas tidak efisien. Terdapat beberapa keganjilan sebagai implikasi dari tata lembaga dalam UU migas ini.

Pertama, negara telah menurunkan kedaulatannya dengan menyejajarkan diri dengan kontraktor asing. UU Migas mengubah skema bisnis migas dari yang semula Business  to Business ( Perusahaan negara dengan Kontraktor) menjadi Goverment to Business ( Pemerintah yang diwakili BP Migas sebagai BHMN dengan Kontraktor). Dalam mekanisme Goverment to Business, jika terjadi dispute dan pemerintah mendapat tuntutan hukum, persoalan mesti diselesaikan di arbitrase internasional. Akibatnya, negara bisa diseret ke pengadilan dan jika dinyatakan bersalah, aset-aset negara dapat langsung disita.

Kedua, BP migas sebagai pengelola sektur hulu migas, tak dapat langsung menjual produksi migas bagian negara. Hal ini disebabkan oleh statusnya sebagai badan hukum. BP migas harus menunjuk pihak ketiga untuk menjual migas bagian negara. Sebagai akibatnya, Pertamina harus menunjuk pihak ketiga untuk membeli minyak bagian pemerintah untuk dikilang. Ini menimbulkan biaya baru, yakni biaya pihak ketiga. Prosedur ini membuat harga produksi minyak lebih mahal sehingga makin memberatkan masyarakat. Sebelum ada UU Migas, minyak bagian negara bisa langsung dikirim ke kilang minyak Pertamina untuk kemudian diolah dan didistribusikan. Sistem  yang vertically  integratedseperti ini lebih efisien sehingga biaya produksi BBM bisa ditekan.

Ketiga, UU Migas dinilai tidak investor friendly. Sebagaimana kita ketahui bahwa industri migas adalah industri yang padat modal. Pemerintah perlu membuka kran untuk mengalirnya investasi asing, terutama pada tahap eksplorasi migas agar ditemukan sumur-sumur baru. Keberadaan UU migas tidak memberikan dampak signifikan terhadap produksi migas kita. Pengamat perminyakan, Dr. Kurtubi, menyatakan sebagaimana dikutip dari hasil Survey Fraser Institute 2010, kondisi investasi migas Indonesia amat buruk. Peringkat 114 dari 145 negara. UU migas menjadikan investasi di Indonesia begitu birokratis. Setelah UU ini berlaku, jika investor ingin berinvestasi, setidaknya ia harus berurusan dengan tiga lembaga legara yakni Dirjen Migas ESDM, BP migas, dan Dirjen Migas. Sebelum UU ini berlaku, investor hanya perlu berurusan dengan Pertamina. Prosedur yang kini berlaku amat menyulitkan investor karena terlalu birokratis. Hal ini juga memperbesar celah terjadinya korupsi karena makin banyak lembaga negara yang dilibatkan secara langsung.

Selain karena persoalan birokrasi, tidak investor friendly-nya UU migas juga disebabkan oleh adanya berbagai pungutan ,seperti bea masuk, pada tahap eksplorasi ( pasal 31 UU Migas). Padahal tahap eksplorasi merupakan tahap yang menguras biaya besar dengan resiko yang juga tidak kecil. Artinya, pada tahap eksplorasi, belum tentu ditemukan lapangan minyak baru yag siap produksi. Pada UU Pertamina, berbagai pajak dan bea masuk baru diterapkan setelah ditemukannya cadangan minyak baru, pada tahap eksplorasi investor masih dibebaskan dari berbagai pungutan. Buruknya kondisi investasi membuat kegiatan eksplorasi minim sehingga tak ditemukan cadangan minyak terbukti baru. Ini yang menyebabkan produksi minyak Indonesia cenderung terus menurun, tidak ada penemuan lapangan minyak baru. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang seakan  memaksa peningkatan konsumsi minyak, turunnya produksi munyak menyebabkan impor minyak mentah ataupun BBM meningkat dari tahun ke tahun.

Keempat, sebagai badan hukum, neraca keuangan BP migas independen, terpisah dari kekayaan negara dan tidak diambil dari APBN. Biaya operasional BP Migas diambil dari fee pemerintah dan kontraktor. Ironisnya, dengan neraca keuangannya yang independen, BP migas tidak memiliki komisaris ataupum majelis wali amanat (MWA) sehingga rawan terjadi “penggelapan”. Pada pasal 45 ayat 2 UU migas disebutkan bahwa unsur-unsur BP migas terdiri dari pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif.  Rekam jejak BP migas pun tak begitu menggembirakan, BPK berulang kali memberi opini adverse (penilaian terburuk dalam audit karena tidak sesuai standar) terhadap laporan keuangan BP Migas. Kendati tiga tahun terakhir status keuangan BP migas sudah membaik menjadi wajar tanpa pengecualian ( WTP), potensi penggelapan bukan berarti tertutup. Sekali lagi karena statusnya sebagai regulator berupa badan hukum,  bukan pemain atau operator, BP migas tak terlibat secara langsung ke lapangan secara intens. BP migas seringkali hanya menerima laporan bersihlifting minyak dari kontraktor.

Perusahaan migas negara (NOC)semula  didirikan untuk menjamin ketahanan energi nasional. Diharapkan dengan adanya NOC negara dapat berdaulat , menguasai dan mengelola lapangan migasnya sendiri. Itu kondisi idealnya. Adapun di masa lalu kita menggandeng kontraktor asing dalam kontrak kerja sama, itu dimaksudkan agar ada transfer teknologi dan penumpukan kapital negara karena saat itu tenaga ahli dan modal domestik amat minim. Pada akhirnya lapangan migas Indonesia mesti dikelola oleh perusahaan indoenesia dan bangsa Indonesia.  Namun, pengelolaan yang keliru menyebabkan penumpukan modal untuk mengelola sendiri tak kunjung tercapai. Hingga kini perusaan asing masing mengelola 74% lapangan minyak di Indonesia. Kita perlu realistis, sulit rasanya kita melakukan nasionalisasi secara radikal dengan “menendang” kontraktor-kontraktor asing dari lapangan minyak Indonesia. Namun, setidaknya blok-blok migas yang akan habis kontraknya ada kepastian hukum untuk dikelola  perusahaan negara, tak diperpanjang oleh kontraktor asing.

Pembenahan payung hukum di sektor migas perlu segera dilakukan untuk mencapai ketahanan energi nasional. Ruh yang perlu ada di dalam payung hukum migas adalah keberpihakan pada kepentingan nasional. Konkretnya, NOC harus diprioritaskan untuk mengelola blok-blok migas yang dinilai mampu dikelola NOC, tentu disertai instruksi pemerintah untuk meningkatkan kinerja NOC.

  
Pustaka
·         Draft UU no. 22 Tahun 2001 tentang Migas
·  Partowidagdo, Widjajono. 2010. Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. Bandung : Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB
·         Partowidagdo, Widjajono. 2009 . Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis Kebijakan. Jakarta : Pertamina
·         Syeirazi, Khalid. 2009. Di Bawah Bendera Asing : Liberalisasi Industri Migas di Indonesia. Jakarta : LP3ES
·         Slide Presentasi : Kembalikan Blok Migas Selesai Kontrak. Kurtubi. Disampaikan pada Seminar Migas di Ruang GBHN Nusantara  MPR, 17 Juli 2012


Fajar Cipta Yudha Perkasa
Kementerian Kebijakan Nasional KM ITB 2012/2013
Lingkar Studi Indonesia Perkasa
follow : @itb4nation
Share |

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites